Ini adalah puncaknya setelah sempat terhenti di hari 22, ini adalah itu. Sepuluh tahun lalu aku taut kan hari ini sebagai hari dimana aku mulai mencintaimu, hari pertama kali kita kembali berkomunikasi dan kembali memulai semuanya dari kata teman. Aku selayaknya dengan sengaja menghentikan tulisan ku dihari ke 22 masih ada kecemasan disana, ragu, serta khawatir butuh berapa lama aku harus membiarkannya hingga tak lagi berasa sampai hati ku juga menjadi tawar. Lalu cinta membawa candu yang berbeda untukku rengkuh.
Apa kamu tahu seperti apa rindu yang tercipta dari waktu yang begitu lama? Menggumpal lalu membentuk semacam kristalisasi, aku harap ia indah tapi nampaknya ia tak dipoles dengan polesan yang cukup untuk melengkapinya. Karena disisi lain ia selalu dihantam angin kesendirian.
Biarkan aku mengeluarkan semuanya hari ini, biarkan aku bebas, biarkan aku terlepas dari ragu. Apakah besok aku tidak boleh lagi menulisi kamu sebuah cerita? Apa besok aku tidak boleh merangkaimu dengan kata? Apa besok aku harus benar-benar menutup semuanya? Aku masih berharap besok itu tidak ada...
28 oktober di satu dasawarsa yang lalu aku putuskan hidup dengan mencintaimu tanpa wanita lain, lalu di 28 oktober kini telah ku ikhlaskan hati untuk melupakan semua cinta yang tergulir selama ini. Semua tentang mimpi, semua tentang khayalan yang harapannya akan menjadi nyata, hidup bersama anak-anak kita, melihatmu ketika ku membuka mata dipagi hari, mengatarmu bekerja, bersama belajar bagaimana menjadi imam dan makmum yang baik, bersama hingga salah satu dari kita terpisah oleh kematian, hingga Allah memisahkan jiwa kita untuk kembali dipersatukan nanti. Yaaa sedari awal perasaanku memang telah terpasung dengan angan itu, menjadikanmu ibu dari anak-anakku bukan hanya sebauh perasaan yang bermuara pada nafsu.
Bagai sebuah ramalan, rasa sakit yang sengaja ku hinggapi untuk terus mencintaimu itu kini hadir dalam bentuk nyata. Semua, aku tahu bahwa kamu tak mungkin jadi makmumku, aku telah mempersiapkan bahwa kamu tak ada dipelaminan untuk bersanding denganku, dan aku akan datang hanya sebagai serpihan masa kecilmu, aku tahu bahwa aku akan terluka, aku sadar bahwa sedari awal aku memang tak pernah singgah dihatimu hanya terekam di serambi kiri otakmu.
Namun ketika waktu itu semakin dekat dengan ku, ada enggan, ada benci, bahkan perasaan sakit yang tak kentara. Aku menolak kenyataan, aku mengingkari ramalam yang entah dengan tidak sengaja aku ciptakan sepuluh tahun lalu. Efek dari racun itu kini mulai menunjukkan reaksinya, aku bagai diburu waktu, merasa waktu yang selama ini ku habiskan hanya untuk mencintai mu itu kurang, merasa bahwa sepuluh tahun ini aku hanya terdiam menunggu cinta itu juga menghinggapimu. Ri, ikhlas itu bukan kah tidak menghakimi siapapun? Lalu bagaimana jika aku menghakimi diriku atas ketidak mampuanku, atas rasa iri bercampur dengan ceburu hebat kepada calon imammu.
Benar, wajar saja aku iri padanya. Lelaki yang mungkin kamu kenal tak lebih lama dari kamu mengenal aku namun dapat membuatmu terperdaya olehnya. Menjatuh kan beribu kalimat cinta yang membuat ku terbakar membacanya, apa kamu lupa? Aku ada disana, menyaksikan kemesraamu, tercabik hatinya hancur perasaanya namun masih menyimpan cinta yang besar dibaliknya.
Ternyata ketulusan saja tidak cukup untuk merasa dicintai, faktanya kesetiaan bukan jalan untuk mengharap sebuah balasan. Yaa cintaku memang mengharapkan sebuah balasan, kamu mungkin lebih rumit persamaan kuadrat, lebih kacau dari statistika. Kamu adalah gadis masa kecilku...

Selamat tinggal perasaan yang selama ini ku jaga, selamat tinggal cinta yang ku harap selamanya, selamat tinggal segala mimpi yang tenggelam bersama kenyataan, selamat tinggal. Aku adalah lelaki yang akan berada disana dihari itu, yaa aku adalah lelaki itu.


Sedari awal aku sudah salah dalam mencintaimu, bukan cinta ini yang salah tapi bagaimana aku mencintaimu yang rasanya kurang tepat. Sejak mula aku mencintaimu bukankah aku terlalu percaya diri untuk bertahan, terlalu angkuh untuk berdiri sendiri tanpa adanya kamu. Aku terlalu gegabah dalam merumuskan cinta dengan persamaan kuadrat yang salah dengan persamaan dan statistika yang berbeda dari kebanyakan orang.
Aku salah memulai cintai ini dengan sumpah. Sumpah aku hanya mencintai kamu dalam hidupku terlontar semudah menuangkan segelas air kedalam bejana. Aku memang tak salah memilih cinta tapi aku terlalu sembrono mengikatnya dengan ikrar para petua. Lalu nyatanya aku memang hanya mencintai kamu, hidup bersama cinta yang kini hendak mencapai satu dasawarsa. Begitu panjang jika aku uraikan dalam bentuk bulan, hari atau terlebih dalam satuan detik tentang berapa lama sumpah itu mengena padaku.
Lalu lidah ini kelu, merasa emosi diatas dada lantas aku mengutuk. Aku lantas mengutuki diri bahwa aku sanggup mencintai dengan cara ini. Bahwa ini adalah jalan yang telah dengan sengaja kutoreh untuk mencintaimu, faktanya aku berulang kali terluka, berulang kali patah hati, juga pernah merasa dikhianati tapi sumpah aku masih tetap mencintaimu sampai detik ini.
Ahhh... kukutuki diri karena tidak pernah berpaling darimu. Bersiap patah hati berkali-kali, tapi bangkit lagi seperti zombie. Aku hidupi cinta ini dengan rasa sakit, semakin kencang degupnya ku nilai lebih baik, semakin terluka semakin asyik. Padahal aku ini rapuh terlalu mencintai dengan hanya menggunakan naluri, sekejap hati menyebut namamu lalu ia mentrasmisikannya ke otak lalu menterjemahkannya lewat bahasa bahwa ini cinta.
Tapi aku lupa dalam doa. Bagaimana jika sedari awal aku lebih kuat dalam doa? Apakah cinta juga akan tertoreh didalam buku takdir kehidupan milikku? Maka akan beda ceritanya jika selalu kusemat namamu dalam sepertiga malamku, menyanyikanmu lewat shalawat dan dzikir sebelum tidurmu. Jika demikian maka aku hanya akan menekan tombol deletnya saja, menghapus sumpah dan kutukan sedari awal.
Seharusnya ini menjadi cinta yang merindu lewat doa.
Seharusnya ini cinta yang menunggu Tuhan menyatukannya.

Ini cinta ...
Tak terasa hari ke-20 berlalu dengan cepat, meski ada beberapa tulisan yang sengaja ku rapel kan postingannya, namun aku tak pernah benar-benar menerka bahwa usahaku memaksakan diri ternyata telah sampai dititik ini. Awalnya aku berfikir aku akan berhenti ditengah jalan, diam, merasa bosan dan akhirnya aku tinggalkan, biarkan saja terbengkalai. Namun dengan waktu yang tak terasa tinggal delapan hari lagi, kini aku merasa ingin terus menulis lebih lama lagi.
28 oktober selalu saja menjadi evaluasi tahunan yang aku lakukan, meski baru kutuliskan dalam beberapa tahun terakhir, tak mengapa karena sejatinya cinta itu begitu berkobar di tahun-tahun lalu. Kamu yang benci hal-hal konyol seperti ini pasti tidak mengerti padahal ini adalah cara paling ampuh bagiku untuk menguraikan segalanya, bagaimana tidak kerena dengan menyebut hal tentangmu saja aku gemetar maka tulisan menjadi jalan aku menguraikannya.
Tuhan memang mentakdirkan kita bertemu berbagi masa-masa kecil kita bersama, namun sepertinya Ia belum setuju jika kita berbagi masa-masa tua kita bersama. Sedari awal ketika aku menjatuhkan hati tanpa syarat padamu maka aku mengkukuhkan diri ingin menjadi imam yang halal untuk mu. Meski sedari awal ku tahu, bahawa ada hal yang membuatku jauh tertinggal dari lakumu tapi aku selalu berusaha mengkuhuhkan diri.
Hingga aku benar-benar tak melihatmu lagi dalam lintasan ku, aku sudah terlalu jauh dari rute hidup yang telah kupersiapkan matang. Tapi bagaimanapun aku selalu berusaha bahwa bahasa ini harus dapat tersampaikan padamu, meski harus mengoyak hatimu aku ingin sekali saja hati mu itu bergetar ada kegoyahan yang luluh pada dirimu itu.

Sampaikan salamku untuk iamam masa depanmu dari lelaki masa kecil mu.

"Meski suatu hari nanti tak lagi terselip dijari manis ku, namun cincin penanda janji itu akan berada semakin dekat. Ku rantaikan tepat dikerongkongan agar menyatu dengan nafas. Terjuntai jatuh tepat disisi jantung ku”

“Terjuntai tepat disisi jantung ku. Menjadi cawan bagi detaknya. Meredakan debar saat pesona lain mulai membuka. Menjaga gerbang hati yang telah sesak. Menguncinya hingga patri”





Salam dari pemilik malam, ia yang memeluk rembulan. Jemari yang penat menuliskan kalimat fatamorgana, tubuh yang lemas karena rutinitas mahasiswa. Aku tak akan berjaya menghadapi mu. Aku tak akan sanggup menyuguhimu, karena hingga kini aku masih tersauk-sauk mengimbangi.

Dari angin yang membawa udara segar, aku hadirkan dengan bahasa sederhanya hanya agar kamu mengerti. Tapi kamu langsung menyudahi, tak lagi berarti. Bagai rintik yang menjadi badai, lalu beliung meluluh lantakkannya, hati itu hancur tanpa sisa karena porah-poranda.

Demi cinta yang tercipta dari ingatan. Aku sesajikan persembahan terakhir lari cambuk waktu yang kian sulit berkecamuk. Mengharap bagai peminta-minta, mengemis karena tak punya. Namun apa daya simpati pun tak dapat, hanya menatap dengan harap.









Cinta bukanlah sekedar ucapan, melainkan perasaan
Cinta tidak dinilai dari kata-kata
“Aku Cinta Kamu”
Melainkan dari sebuah tindakan

Kata ajaib yang hanya ada dalam dongeng. Sederet mantra cinta telah ku coba tabi tak juga meluluhkan perasaan yang sepi. Hatinya begitu kaku akan cinta yang terpaut masa lalu.

Dari cinta yang monyet hingga ku sebut cinta sejati, kamu selalu menjadi pelabuhan terakhir bagi hati, hingga sempat ia putar haluan terkecoh oleh kata “kesetiaan”
Hei, kamu. Apa yang kamu kenakan pada wajahmu itu? Bukankah itu riasan yang menutupi dirimu. Aku suka dengan keputusanmu mengenakan hijab, aku suka jika sesekali kamu mengenakan perona wajah. Tapi aku benci jika kamu terlalu mempolesnya berlebihan. Sebenarnya apa yang hendak kamu tutupi dari riasanmu itu?
Kamu adalah gadis yang indah tanpa riasan tanpa sentuhan berlebihan, entah kamu hendak menjadi lebih mempesona demi raja yang kini mengisi seluruh hatimu dengan cinta dan kepercayaan atau kamu hendak menutupi sesuatu dari apa yang tidak dapat kamu sembunyikan.
Aku adalah pria yang nyaman dengan itu, dengan apa adanya kamu secara fisik karena mencintaimu itu sedari awal aku telah buta. Karenanya tak perlu lagi mata untuk melihat. Sebab sedari awal aku telah tuli. Tak perlu lagi telinga untuk mendengar merdu suaramu.
Hey, kamu. Apakah kamu nyaman dengan semua itu? Entah, anggap saja ini hanya prediksiku yang salah. Tapi aku terka ada lelah disana, ada hal yang terlalu dipaksakan disana. Namun tubuhmu tak menyadarinya. Kamu itu sahabatku sebelum cinta ini memintamu menjadi jodohku.

Maka tatap lah aku dan biarkan getarnya bicara padamu tentang hatimu, tentang hatiku. Agar kamu tak pernah meragu atau merasa sekeras batu.


Nikmat mana yang hendak kamu dustai.
Apakah ini layak kamu lontarkan pada gelandangan sepertiku, yang meminta-minta pengakuanmu, yang mengais-ngais dari rasa sakitku. Aku adalah lelaki yang mencintai seorang gadis, terkutuk sebuah janji dan terperangkap masa lalu. Apa selayaknya aku mendapat simpati, tatapan mereka hanya iba, hanya cemooh yang terlontar dalam doa yang menyaru lewat bahasa yang indah. Sejatinya mereka tertawa, mereka tak pernah benar-benar perduli akan rasa menyelimuti qalbu. Aku hanya lelaki yang ikut tertawa dari laku mereka karena sejatinya mereka tak pernah mengerti. Musuhku bukan mereka, tak perlu perduli atau memperdulikan hanya melepas stamina percuma. Lawanku adalah diri berperang melawan waktu.
Hingga habis masa batas, sampai lazuardi menghilang dan mega merah itu nyala berkobar lalu padan. Sedari awal Tuhan telah menganugrahiku dengan cinta dan iblis mengujiku dengan cinta pula. Atas nama nafsu kusarukan menjadi cinta, atas nama dosa ku jabarkan seakan kesetiaan. Wujud dari cinta itu pernah kututupi, kusamarkan hingga tak terlihat. Sesaat hati ini beku atau malah telah membatu.
Darah mengalir dari seperangakat nadi pun aku tak tahu, deras menguras namun tak perduli. Hingga kebebasan menyeruak, iblis terpojok dan jiwa tersadar dari neraka serasa surga. Aku terbelalak menyadari tapi masih menikmati. Ku angkat lagi hati agar ia dapat dipatrikan pada posisinya. Terkorban jiwa demi iblis pun tak percuma karena nyatanya cinta masih memihat, nikmat lama yang Tuhan bagikan masih menyisa, separuh jiwa yang tersisa kan kumanfaatkan.
Melepas perih, mencabut belati. Aku bebas memperkaya diri untuk mendidik anak-anak matahari. Sekali lagi kan kuubah cinta dalam simbol yang berbeda, cinta terhadap sang gadis kini sengaja kukisis, membersihkan hingga kerak tanpa sisa. Meski lagi, waktu kan menjadi saksi, menjadi wali, bagaimana aku menjerat jika hingga batas akhir.
Tak masalah selama nafas masih terengah, oksigen tak kan lepas terhirup. Semakin terjerat, semakin sakit kudapat. Kamu gadis kan lenyap bersama kebebasan, ketidak adaan masa lalu.


Ini hari-hari yang sulit, setelah setengah jalan menapaki janji aku merasa lelah menghantamku. Tubuh ini jadi merasa ragu untuk merangakai kata dari bibir yang membisu, otakku seakan enggan mengurai masa lalu antara kamu dan aku yang sedikit itu.
Entah, ada bagian lain yang merasa mungkin kusimpan saja ini sendiri. Aku tak ingin melepas semua ini, aku tak ingin merelakan, tak ingin mengakui dan tak ingin semua ini berakhir. Seluruh tubuh ku berontak, fikiran ku melayang hilang segala bentuk konsentrasi. Ini terasa lebih sulit dari hari-hari sebelumnya karena kusadari semua hal jadi tak tentu arah, semua hal jadi terasa amburadul.
Kamu selalu sukses membolak-balik perasaanku, mengahantamnya seperti badai, lalu menghilang bagai sepi. Kadang kamu adalah musim panas yang penuh akan cinta, kamu tau aku tergila-gila hingga saat ini hadir menyaru bagai musim dingin. Kamu selalu saja beku, entah kadang sering ku terfikir apa yang menjadi tolak ukurmu menjatuh kan hati. Entah apa yang harus dimiliki seorang laki-laki sehingga ia dapat mencuri perhatianmu, lalu membuatmu jatuh hati.
Perasaan yang terombang-ambing kamu hanya isyaratkan sebuah fiksi. Rasa yang menahun ini kamu terjemahkan sebagai cerita romansa biasa. Aku selalu meminta jika kamu tidak pernah dapat mencintai aku, tolong kembalikan jantungku yang kutitipkan padamu dalam toples kaca itu. Jantung yang meminta mu untuk menyimpannya, tolong kembalikan hanya agar aku dapat mencintai wanita lain. Hanya aku dapat melepasmu seperti maumu, mungkin.
Kini aku sesak, sesak karena kamu menguncinya terlalu erat. Jantungku tak dapat bernafas, aku sesak ketika batas waktunya semakin dekat. Kamu bebaskan lah aku dari perasaan ini, kamu.