Aku bukan sedang menyebrangi arus. Aku hanya lari. Lari dari ruang
kenyataan yang menyakitkan ini. Berusaha melepas senyum yang selama ini aku
tutupi. Yang selama ini aku rahasiakan dengan diam. Dibawah ruang beratap yang
kau sebut rumah ini. Rumah yang didalamnya hanya berisi benci. Neraka bagiku.
Kau hanya akan menilai aku hina, yang mencinta berbeda. Tapi
sesungguhnya kaulah yang memaksa aku berjalan mundur. Menjauhimu. Kaulah yang
tiada henti menghujam belati di jantung ini. Membuat luka meradang, bernanah.
Dan kaulah yang menggores luka didirimu. Yang menuntut begitu banyak dari
ketidak mampuanku. Bukan karena aku.
Aku yang diam ini hanya terus terbonekakan oleh benang-benang
kuasamu. Kuasa yang kau sebut keadilan. Kuasa yang berakhirnya mimpiku. Jalan
ini memang salah ku tempuh. Tapi yang salah itu begitu mampu menjadi candu
bagiku. Bagiku yang buta akan kebahagiaan – meski sesaat. Lalu jalan mana yang
akan aku pilih?
Ketika kenyataan telah tersaji begitu memberi arti. Kerena aku
tidak sedang menggertakmu dengan ini. Kau yang tak mampu mendengar suara hati.
Kupaksa melihat bukti. Dari ego yang telah mengoyak nurani. Aku yang tidak
pernah meminta darimu ini. Seketika mengemis memohon. Hanya agar kau mau
mengabulkan pintaku. Yang tergila oleh lembaran putih berlukisan alfabet dungu.
Aku disini menggema digendang telingamu. Yang telah tuli dengan
bisik-bisik hati. Karena tak ada lagi jiwa yang bersarang diragawi. Aku hanya
ingin kau sedikit melonggarkan benang kebebasan untukku. Untukku yang kini
terkesan durhaka karena ilmu. Karena cukup kau pasung aku dengan kehendakmu.
Karena cukup sudah kau rajam aku dengan maumu.
Lalu apa tikdakmu Ibu? Ketika semua telah meluap. Memuntahkan
keinginan dalam bentuk benci. Dalam balutan sakit hati yang semakin teracuni
kini. Masih kah kau hendak memperparah keadaan ini dengan mereda sesaat. Lalu
mencekik aku dengan kuasamu? Dengan segala tandukmu yang hanya menjadikan aku
brutal. Tak terkendali. Kebebasan yang antara kau dan aku tak ingini. Tapi
tercipta dari lakumu yang menggeliat memaksa aku.
Maka kau akan melihat gelap ditengah terik mentari. Dan pelangi
yang akan selalu berwarna sama. Kelabu. Karena jelas aku akan memilih mati.
Dari pada kau paksa aku hidup tanpa mimpi. Hidup tanpa harapan untuk merasa
hidup. Dan aku akan jauh memilih jalan kelam yang terlihat bersinar dimataku.
Jalan yang karena kaulah aku memusuhimu.
Lumayan ada bahan bacaan, salam blogwalking
ReplyDeletejangan lupa folbek gan