Aku benci lilin yang berbaris rapih diatas tart menunjuk sebuah
angka. Menyala-nyala seakan menertawakan. Aku selalu menjadi begitu angkuh
ketika tart bertabur lilin itu disajikan dimuka ku. Tepat pada titik awal perputaran
waktu. Karena hari ini adalah 14 Nopember, dan aku tak pernah suka itu. Karena
setiap orang jadi begitu berisik.
Berbicara hal-hal yang tidak aku mengerti. Dengan senyum mereka
berkata bait-bait doa yang begitu banyak. Padahal, jangankan mendoakan orang
lain. Berdoa untuk diri sendiri saja. Mungkin hanya dilakukan ketika masalah
itu ada. Lalu mulai menasehati diri. Seakan dia telah mengetahui segala isi
bumi. Berusaha menggurui. Padahal ia pun buta duniawi.
"Hari ini adalah
hari dimana aku dilahirkan"
Yang pada akhirnya berbalik menjadi menuntut diri. Meminta ini dan
itu yang tak tersirat secara arti. Aku memang benci hari ini. Karena aku benci
bertambah tua. Tua yang berarti juga dituntut dewasa. Dewasa yang selalu
identik dengan kekauan.
Kekakuan yang merubah arti tentang dunia yang aku pahami selama
ini. Karena mereka yang menganggap telah menjadi “dewasa” kerap berusaha
membohongi diri. Padahal mereka ajari aku berkata jujur. Apakah arti jujur itu
berkata sebaliknya? Orang dewasa itu munafik. Berusaha mencari pembenaran dari
kesalahan. Atau mencari kesalahan dari sebuah pembenaran. Entahlah.
Orang dewasa itu selalu penuh kepalsuan.
Orang dewasa selalu saja memasang wajah tangguh. Padahal ia telah
buta akan arah melangkah. Atau merendah seakan tak punya. Dengan pandai memperdaya
orang dewasa lain yang dengan mudah diperdaya. Adapula mereka dengan senyum yang sama berjalan
beriringan. Lalu memecah tawa dikeramaian. Terlihat begitu bersahaja. Tapi
sesungguhnya mereka tak tertawa bersama. Tapi saling menertawakan. Saling menjatuhkan.
Lalu setelah lelah, mereka duduk ditaman kota. Menikmati senja
seusai pulang bekerja. Tanpa sengaja bertemu dengan pengemis renta. Dan memberi
derma. Tapi itu bukan derma, melainkan membayar puji dari sesama.
Orang yang mengaku dewasa itu juga lemah. Mengaku beragama. Tapi
kerap kali tertipu oleh Iblis yang menjelma. Atau menjadi menyalahkan Tuhan
atas takdir yang telah ada. Padahal ia yang menciptakan takdirnya.
Orang dewasa itu mengganti arti Tuhan.
Aku selalu diajarkan bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk
menyembah Tuhan. Bukan satu-dua tahun bahkan belasan tahun aku mempelajari
bahwa Tuhan itu satu. Dan pedomannya adalah kitab-kitab Nya. Tapi menjadi
dewasa sepertinya adalah sebuah perubahan total. Karena seketika Tuhan menjadi
sekedar nama. Yang hanya di yakini tapi tidak lagi diimani.
Hanya sedikit orang saja yang sanggup bertahan. Walau kadang tetap
terbawa racun kedewasaan. Tuhan menjadi dongeng yang hanya layak bagi anak
kecil. Karena kenyataannya setelah dewasa adalah kita hidup untuk uang. Kita
hidup demi memerdekakan Tuhan atas nama uang. Dengan dalih bekerja adalah
sebagian dari keimanan. Tapi bukankah sekali lagi mereka menipu diri. Bahwa
mereka telah menjadi budak uang.
Times Is Money
Bahkan waktunya didedikasikan untuk duniawi. Bukan pada akhirat
nanti. Orang dewasa menjadi begitu agnostik. Menjadi begitu realistis, bahwa
semua harus tersaji dalam bentuk fakta. Sejati. Bukankah yang tak terungkap
kini biarlah menjadi rahasia sang ilahi.
Dan manusia semakin ingin melampaui. Kuasa Tuhan dengan menjadi
Tuhan. Orang dewasa telah menyalah artikan tugas mereka sebagai khalifah
dibumi. Lalu menciptakan aturan-aturan sendiri. Menyingkirkan Al-Qur’an berdebu
dilemari. Untuk menciptakan keadilan. Keadailan yang hanya bagi mereka saja
yang dapat mengikuti. Perubahan yang entah kemana mengalir.
Mengupas kegilaan orang dewasa tak akan pernah berhenti pada titik.
Dan semua orang akan terus terbawa pada arti kedewasaan yang mengeri. Sampai
arti dewasa itu kembali. Kembali pada khakikatnya yang khakiki.
Dan aku yang membenci ini. Akan terus mencintai jalan yang aku
pilih. Jalan yang memusuhi arti kedewasaan yang seperti ini. Arti kedewasaan
yang telah bercampur dengan tipu daya Iblis didalamnya. Meski tak dapat
kututupi aku mungkin akan menjadi teracuni. Tapi aku akan menjadi diri yang
sesederhana. Bocah lugu yang memandang hidup adalah bagian dari kegembiraan.
Kunjungan pertama!!!
ReplyDeleteTerimakasih.
Deletemakin bagus aja ndra :)
ReplyDeletemakasih gea
Deleteini lagi dapet aja moodnya.
padahal masih ada tulisan terdahulu yang belum di posting.
doakan supaya bisa lebih baik ya