Senja meniupkan anginnya pada
daun-daun terserak di halaman belakang rumahku. Menebar hawa dingin yang
membuatku merekatkan jaket yang kugunakan. Jingga sudah meraja di barat, dengan
awan kelabu-keemasan yang memesona, meski tak nampak hewan-hewan yang kembali
ke peraduannya. Kursi besi yang panjang ini masih saja hangat, karena
satu cangkir kopi dan sebatang rokok yang menemaniku menikmati momen
menghipnotis ini.
Aku menyesap kopi yang masih mengepul di tanganku ini
sambil tersenyum kecut. Aromanya menebarkan wangi yang membuatku terdiam
beberapa saat, membuat pikiranku kembali pada beberapa waktu sebelum aku hijrah
ke kota ini. Masa dimana aku menikmati momen-momen mengesankan bersama sosok
hebat itu. sosok yang mengajarkan aku pada banyak hal, pada banyak petuah
hidup. Sosok tegar yang pendiam, sosok jenaka yang arif. Ah, mataku selalu saja
basah setiap mengingat sosok itu. Abah.
Kini pikiranku bermain-main dengan masa kecilku, masa
dimana abah menggendongku di punggungnya selepas mengunjungi makam ibu. Ketika
itu aku bertanya, apa aku bisa sekolah di tempat belajarnya Habibie, idolaku
dulu. Abah yang waktu itu bahkan tak mampu belikan aku mobil batman yang kuingin
hanya diam saja. Tapi ketika kami berdua melintasi kebun jambu milik kami,
beliau menjunjung tubuhku dipundaknya, menyuruhku memetikkan beberapa buah
jambu yang telah ranum.
Kami berdua terduduk di atas batu besar menghadap
barat, menikmati momen dimana alam menjalankan titah tuhan, menenggelamkan
siang dan menghadirkan malam. Beberapa butir ranum itu kukumpulkan dalam raupan
tanganku, lantas kugosok jambu itu dengan kaosku. Abah mengusap rambutku dan
tersenyum tipis padaku.
“Lihatlah bagaimana alam mengajarkan banyak hal pada
kita. Maha karya Tuhan ini mengajarkan esensi hidup. Matahari mengajarkan kita
untuk tanpa pamrih. Burung mengajarkan kita pada kerja keras dan kasih sayang.
Angin mengajarkan kita untuk menebar kesejukan pada setiap yang ditemuinya. Belajarlah
pada alam jika kamu ingin menjadi bijak, karena alam mengajarkan apa itu esensi
bahagia dan cinta.”
Aku yang waktu itu masih terlalu muda untuk memahami
kalimat yang dalam itu hanya terdiam, berusaha mencerna apa yang dimaksudkan
Abah.
“Hidup itu untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan
untuk meminta atau bahkan mengiba. Belajarlah pada daun yang menghidupi satu
pohon. Bahkan dia rela mengorbankan dirinya saat kemarau menjelang. Dia
gugurkan dirinya untuk menjaga inangnya, dia korbankan dirinya untuk
hewan-hewan kecil. Dan kamu De, jangan pernah takut untuk berkorban, karena
tuhan menghitung segala keikhlasan kita. Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu
yang jauh lebih hebat.”
Aku terpana mendengar kalimat hebatnya itu. Ayahku
yang pendiam, kini berapi-api membekaliku ilmu hidup.
*****
Dua puluh tiga. Ah, umurku sudah lebih banyak tiga
tahun dari waktu dulu abah menikahi ibu. Lagi-lagi aku teringat ketika abah
mengisahkan lahirnya kakakku yang sulung dengan berapi-api. Meski sekarang si
sulung itu telah menjadi seorang yang brengsek. Entah apa yang membuat Abah
begitu sabar menghadapi anak yang seperti setan tingkahnya.
Abah selalu bilang padaku bahwa menjadi seorang ayah
adalah kebanggaan seorang lelaki. Cinta seorang ayah pada anaknya tak beda dengan
cinta ibu pada kami. Meski mereka berdua menunjukkannya dengan cara mereka
sendiri. Seorang ayah itu harus kuat, mengimbangi ibu yang perasa. Seorang ayah
harus tetap tenang mengimbangi ibu yang mudah menangis. Bila dia marah, bukan
tak sayang, tapi dia beritahu bahwa kita salah dalam bertingkah.
Dulu begitu sering aku tertidur saat menonton tv. Tapi
saat mataku terbuka, aku sudah berselimut di atas kasur. Aku juga sering
menangis saat mobil kulit jerukku dirusak oleh temanku, tapi esoknya sudah ada
mobil dari kayu dengan roda karet bekas sandal dan bisa mengapung. Abah tak
banyak bicara, tapi tatapannya mengajarkan banyak hal padaku. Senyumnya
meredakan tangisku. Abahku yang hebat. Abahku yang istimewa. Untuk lelaki
sederhana dan guru keihklasanku, dengan sangat kuucapkan, aku sayang engkau.
Aku masih ingat saat abah yang pendiam itu tertawa
bangga saat aku pulang membawa piagam. Aku menjuarai lomba pidato Bahasa
Inggris waktu itu. Sampai merah padam wajahku menahan malu, karena abah
menceritakan pada setiap orang yang ditemuinya. Lantas mengadakan syukuran
sederhana karenanya, meskipun kutahu itu terlalu berlebihan untukku. Tapi aku
begitu senang dibuatnya.
Tapi senja yang gemericik itu aku tertunduk, tak mampu
menatap wajahnya yang sendu. Satu kabar tak baik sampai di telinga abah. Entah
dari siapa kabar itu bermula. Anak yang selalu dibanggakannya telah menyalahi
kodrat. Aku yang pendiam ini menyukai sesama. Beliau tak menamparku seperti
dugaku. Juga tak mengusirku dengan sarkas seperti syakku. Beliau hanya duduk
diam memandang keluar jendela, memandang rintik-rintik air yang jatuh dari
atap. Pandangannya kosong. Senyum sederhana itu tak lagi nampak dari bibirnya.
Aku tak mampu menyangkal karena berita itu absah. Aku
yang harusnya bersimpuh, mencium kakinya hanya mampu diam, hanya bisa mengusap
air yang terus mengaliri pipiku. Mata kelabu beliau tampak berkedip beberapa
kali, lantas terlihat satu tetes air matanya jatuh. Abah yang tegar dan
mengajariku untuk pantang menangis, kini tumbang. Hari ini beliau kalah.
Harusnya abah memukuliku, menendangku atau bahkan
melemparku. Itu lebih baik daripada melihat beliau diam dan mengusap matanya.
Melihat jakunnya naik turun dengan desah nafasnya yang berat. Pemandangan itu
terasa membekukan paru-paruku yang penuh oleh sesal.
“Tolong buatkan secangkir kopi untuk Abah, De…”
Kalimat itu meluncur dari mulut Abah dengan bergetar.
Sedikit parau dan seolah menahan nafas karenanya. Aku mengusap pipi yang
sepertinya takkan kering senja ini. Bergegas ke dapur dan segera menjerang air.
Tanganku gemetar saat menuangkan air mendidih pada cangkir yang sudah
kububuhkan tiga sendok gula dan tiga sendok kopi. Takaran kesukaan Abah. Tiga
untuk jumlah anaknya, tiga lagi untuk wanita yang dia cintai dalam hidupnya.
Ibuku yang sekarang sudah ditempatkan Tuhan di syurga, Asni kakak perempuanku
yang telah diboyong suaminya di kota, juga nenek –ibunya, yang telah melahirkan
sosok hebat Abah.
Aku masih berdiri di sampingnya, menanti tangan
ringkihnya meraih cangkir itu, membauinya dengan tersenyum lantas menyesapnya
perlahan. Pandangannya masih tertuju pada hamparan hijau. Tapi tatapan kosong
itu melanglang buana, terbawa pikirannya yang berkutat membayangkan cercaan
dari kerabat, hinaan dari khalayak. Bahkan mungkin titah untuk segera meninggalkan
tanah tempat aku hidup karena kenistaan yang tak kuingin ini.
Kini tangannya meraih cangkir itu, bibir bergetarnya
mulai menyesapnya. Aku sesak melihatnya. Tapi riak kopi itu membuatku ambruk,
bersimpuh dan memeluk kakinya tanpa mampu berkata-kata. Aku hanya sesenggukan
tanpa mampu menderas permohonan ampun. Seribu ucap itu mengalir lewat mataku.
Sejuta maaf itu mengalun lewat isakku.
Beliau tak berucap cukup lama, hingga meluncurlah satu
kalimat dari bibirnya yang kisut.
“Kamu kurang menambahkan satu sendok gula, De…”
Pahit. Kenyataan pahit itu beliau kiaskan lewat
takaranku. Kalimat sederhana yang menggambarkan betapa kecewanya beliau pada
anak yang digendongnya sedari kecil. Betapa nistanya aku membalurkan lumpur ini
ke wajahnya yang teduh. Beliau mengusap rambutku lantas meraih pipiku. Aku
menatapnya dalam remang mataku.
“Tapi satu yang kita lupa. Bukankah kopi pahit itu
adalah obat agar kita tetap terjaga, menjaga harta kita yang paling berharga?
Menjaga agar kita mampu berdiri di sepertiga malam terakhir? Kopi pahit adalah
sebagian jalan hidup. Kamu adalah anak bumi, kamu juga anak matahari dan anak
angin… dan kamu adalah anak Abah yang hebat.”
****
Senja itu turun dengan perlahan. Meninggalkan siang
yang mendung, menuju malam yang menenangkan. Aku masih bersimpuh di kaki abah,
menolak beranjak meski panggilan merdu itu saling bersahutan. Abah bangkit dan
menuntunku. Menimbakan air wudlu untukku. Dan aku tak mampu berhenti terisak
ketika beliau memakaikan sarung untukku. Melilitkan kain itu dipinggangku,
persis saat aku belajar sholat saat lima tahun. Beliau menggelarkan sajadah
untuk kami berdua, mengimamiku dan melantunkan ayat-ayat itu dengan pelan, tak
mampu membaca keras karena getar bibirnya.
Selepas meraup wajahku, aku mendekap abah. Membaui wangi
tubuhnya. Wangi yang mengantarku pada imaji dimana Abah menggendongku saat aku
baru lahir, mengadzaniku di telinga kiriku, mendendangkan iqomat di telinga
kiriku, menjunjungku setinggi mungkin saat aku baru belajar berjalan.
Menuntunku melewati pematang sawah, dan deretan itu masih terus berputar dan
tak terputus.
Abah merangkulku. Tersenyum getir dengan mata sembab.
“Di dunia ini banyak yang tak berlaku seperti ingin
kita karena kedudukan kita hanya sebagai makhluk. Apapun dan bagaimanapun kamu,
darah abah mengalir dalam tubuhmu. Sebelum datang mereka yang akan merajam
tubuhmu dengan batu, sebelum darah mengucur dari kepalamu, carilah tanah dimana
kamu akan menjadi sebaik-baik manusia. Dirikan gubuk-gubuk tempat mengajar
anak-anak matahari, tebarkan ilmu pada pewaris para raja. Purnama menjadi saksi
bahwa aku adalah abahmu. Aku ridho atas engkau.”
Aku mendesah, masih enggan melepas pelukan dari
tubuhnya yang bergetar. Aku tahu beliau sayang dengan teramat padaku. Tapi
kenistaanku mengharuskanku pergi meninggalkan beliau sendiri di gubuk ini.
harusnya aku menjaganya selepas si brengsek itu menginap di hotel prodeo, dan kakak
perempuanku tak kuasa menolak titah suaminya ikut ke rantau. Aku yang
selayaknya mengurusnya, memandikannya saat beliau sakit, memasakkan bubur
untuknya, membersihkan kotorannya. Harusnya aku tetap di sini mendampingi masa
tuanya. Tapi kenistaan ini membuat kami harus berjarak. Membuatku harus
membiarkannya dengan kehidupan sebatang kara.
*****
Kumandang adzan di sela-sela deru mobil kembali
mengingatkanku bahwa aku harus kembali menghadapnya. Memohonkan ampun pada-Nya
atas ketidakmampuanku menjaga hati. Mendoakan Ibu, memintakan syurga buat Abah
yang memang pantas mendampingi ibu di sana. Memohonkan Dia kirimkan seribu
malaikat untuk menjaga beliau, memohonkan segala yang terbaik untuk guru
keikhlasanku, guru ketegaran dan juga guru kehidupanku.
Oleh : Abi Zaenal
0 comments:
Post a Comment