Secangkir Kopi Untuk Abah Part 2

by 18:33 1 comments
Aku sedang duduk sambil memerhatikan Aldi, anakku yang baru menginjak tiga tahun tapi tampak bersemangat untuk mewarnai buku gambar yang baru didapatnya dari tempat belajarnya tadi. Untung saja cuaca saat ini tak terlalu panas. Mungkin karena sekarang masih bulan Februari.
Aku bergegegas ke dapur untuk mengambil kan susu kotak dari kulkas. Anakku Aldi memang suka sekali susu, apalagi yang rasa coklat.
Tapi baru saja aku menutup pintu lemari pendinginku, aku mendengar suara bel. Ah, siapa gerangan tamu siang-siang begini? Akupun bergegegas memakai lagi kerudungku lantas segera menjunjung ke arah pintu.
Pintu terbuka, dan satu senyum sederhana terulas dari orang yang lamat-lamat ku ingat. Di kanan kirinya kulihat ada satu buah dus berikat rapia dan juga karung. Aku mengernyit sampai akhirnya dia memperkenalkan dirinya sebagai kerabat jauh di kampungku dulu. Setelah sedikit berbincang-bincang, dia mohon pamit untuk segera pulang, dan menolak dengan halus tawaranku untuk sekedar minum. Tapi sebelum pamit, dia menyerahkan secarik amplop putih padaku. Titipan untukku, ucapnya.
Punggungnya sudah tak terlihat sekarang dan aku segera membawa karung dan dus yang entah berisi apa. Akupun segera membuka karung itu, ternyata berisi beberapa ruas singkong, jagung serta buah-buahan. Aku mengernyit. Siapa yang repot-repot mengirimkan umbi dan sayuran semacam ini? Toh kalau beli disini tak akan merogoh kocek banyak, dan juga tak perlu repot-repot menenteng barang yang cukup berat ini. Dan saat rapia itu kulepas, penutup dus itu kusibak, bagian teratasnya sedikit membelalakkan mataku. Tanganku bergetar. Lamat-lamat kain berwarna putih itu kujangkau. Baunya masih sama seperti dulu. Warnanya pun tam

Assalam alaykum warohmatulloh wabarokatuh
“Bagaimana kabar Aldi? Apa dia sudah bisa jalan sekarang?
“Abah ingat, bagaimana kamu berjalan tertatih, berpegangan ke dinding, bingung harus berjalan ke arah mbu atau abah, dan kamu tak tahu betapa bahagianya abah waktu kamu meniti dinding dan menghampiri abah, kamu tertawa-tawa menggemaskan, sedang waktu itu perasaan abah was-was, takut kamu jatuh. Dan abah menjunjung kamu setinggi-tingginya. Itu waktu kamu masih berumur dua tahun, entah kamu ingat atau tidak.”
“Abah tahu, derajat ibu tiga tingkat di atas abah. Dan surga pun memang derajatnya ada di bawah telapak kaki ibu saking mulianya ibu. Tapi apa karena sekarang sudah tak ada Mbu, kamu enggan pulang?Apa abah sudah tak layak dapat secangkir kopi dari anak perempuan abah?”
Tuhan, air mata yang menggenang kini telah meluncur dengan sukses di pipiku. Aku hanya menutup mulutku, tak mampu berkata-kata. Suara parau beliau terasa menyakitkan sekali.
Tuhan, anak macam apa aku? Dan satu yang semakin membuatku sesak adalah aku melihat beberapa titik kertas yang berkerut. Itu adalah tetes air mata abah yang telah mengering. Abah menangis. Abah menangis ketika menulis surat ini.
Aku tersungkur dan menangis sesenggukan.
Aku ingat, ini adalah kain mukena yang abah hadiahkan ketika aku juara kelas. Dulu aku sering diledek setiap hendak mengaji karena mukena yang kukenakan saat sholat sudah lusuh. Dan Abah berjanji akan menghadiahkan itu kalau aku bisa meraih juara di TPA itu.
Kucium mukena hadiah dari abah, kubaui dan kurasakan bau tubuh abah, bau yang sama saat kupeluk abah sepulangku mengaji.
*****
Dengan tangan gemetar dan dada bergemeuruh aku mengetuk pintu. Tak sabar rasanya ingin memeluk tubuh ringkih ayah. Tubuh dengan tangannya yang kokoh yang dulu selalu menjunjungku setinggi-tingginya. Menceritakan kisah epik masa lalunya.
Pintu pun terbuka. Beberapa  detik kami berdua hanya terdiam. tapi kulihat matanya mulai memerah, kantung matanya yang mulai mengendur seolah menampung air mata yang ingin beliau curahkan. Bibirnya mulai kisut dan gemetar. Aku ambruk dan langsung bersungkur di kakinya. Memeluk erat betisnya. Aku terisak, tak mampu berkata-kata, tapi hatiku memohon maaf karena rasa tercampakan yang menderanya. Aku mohonkan ampunan pada tuhan atas orang yang paling berjasa dalam hidupku.
Aku memegang pisin berisi secangkir kopi hitam yang masih mengepul, kopi kesukaan abah, dengan dua sendok gula. Mata beliau masih berkaca-kaca, memandang ke luar lewat jendela kayu yang sudah tampak lapuk itu. pandnagannya tertuju pada pohon jambu tempat aku sering bergelayut didahan itu dulu. Kutaruh cangkir itu diatas meja. Abah tersenyum padaku, dan aku hanya mampu mengulas sedikit senyum karena mataku rasanya tak berhenti berair. Aku melihat Aldi yang tampak bersemangat bertanya banyak hal pada kakeknya yang baru sekarang dia lihat. Kakek yang harusnya dia lihat dua atau tiga kali setahun. Kakek yang akan membantunya mencari capung dan belalang di sawah. Mengajaknya memetik mentimun atau cabe di ladang. Dan kakek yang akan menceritakan tentang petuah hidup.
Untuk abah di seluruh dunia. Terkadang kami anak-anakmu ini memang sering terlena oleh kehidupan kami yang baru. Kami terbuai oleh indah dan gemerlap kota yang melenakan. Kami acap terlupa pada sosok yang dulu menjunjung kami di pundak untuk memetik jambu. Kami sering tak ingat bahwa dulu engkau yang mengajari kami naik sepeda, mengangkat tubuh kami yang sering tertidur di depan tv. Kami sering buta oleh jasamu. Kami tak tahu bahwa dalam diammu, hatimu mendoakan yang terbaik untuk kami. Di balik ketiadak adaanmu di rumah, engkau bekerja terlampau keras hingga tubuhmu kaku. Kami sering membantah, menolak hanya untuk menyuguhkan secangkir kopi sepulangmu dari ladang.
Mungkin derajat ibu lebih tinggi darimu, tak ada hari istimewa atas namamu, tapi engkau akan terus hidup dalam ingatan. Sosok yang mengajarkan tentang kesabaran, keteguhan, dan kegigihan. Engkau marah agar kami sadar atas kesalahan kami, engkau diam bukan tak sayang,

Aku tahu, banyak orang yang mengabaikan begitu besar jasa seorang ayah. Ketika seorang ibu diagungkan, diperingati setiap tahunnya, seorang ayah hanya bisa tersenyum. Seorang ayah tak pernah minta pengahrgaan. Atau pengagungan. Seorang ayah hanya ingin diingat, meski diingat setelah ibu.
Ketika seorang ayah memerahi anaknya yang pulang larut malam, bukan karena dia pemarah. Tapi karena beliau takut anaknya akan menyesal kemudian marah. Ketika kamu menangis dan dibelai ibu, bukan karena ayah tak peduli, tapi ayah harus.
Ayah yang tercampakkan.

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

1 comment:

  1. sdikit masukan, sama blajar ya.. :D
    Ada beberapa bahasa Yg kurang jelas Arti nya
    Penyambung cerita Agak Kurang Pas
    antara isi surat dan cerita harus dibedain penulisan nya..
    selebih nya bagus..

    ReplyDelete