Aku sedang duduk sambil memerhatikan Aldi,
anakku yang baru menginjak tiga tahun tapi tampak bersemangat untuk mewarnai
buku gambar yang baru didapatnya dari tempat belajarnya tadi. Untung saja cuaca
saat ini tak terlalu panas. Mungkin karena sekarang masih bulan Februari.
Aku bergegegas ke dapur untuk mengambil kan susu
kotak dari kulkas. Anakku Aldi memang suka sekali susu, apalagi yang rasa
coklat.
Tapi baru saja aku menutup pintu lemari
pendinginku, aku mendengar suara bel. Ah, siapa gerangan tamu siang-siang
begini? Akupun bergegegas memakai lagi kerudungku lantas segera menjunjung ke
arah pintu.
Pintu terbuka, dan satu senyum sederhana terulas
dari orang yang lamat-lamat ku ingat. Di kanan kirinya kulihat ada satu buah
dus berikat rapia dan juga karung. Aku mengernyit sampai akhirnya dia
memperkenalkan dirinya sebagai kerabat jauh di kampungku dulu. Setelah sedikit
berbincang-bincang, dia mohon pamit untuk segera pulang, dan menolak dengan
halus tawaranku untuk sekedar minum. Tapi sebelum pamit, dia menyerahkan
secarik amplop putih padaku. Titipan untukku, ucapnya.
Punggungnya sudah tak terlihat sekarang dan aku
segera membawa karung dan dus yang entah berisi apa. Akupun segera membuka
karung itu, ternyata berisi beberapa ruas singkong, jagung serta buah-buahan.
Aku mengernyit. Siapa yang repot-repot mengirimkan umbi dan sayuran semacam
ini? Toh kalau beli disini tak akan merogoh kocek banyak, dan juga tak perlu
repot-repot menenteng barang yang cukup berat ini. Dan saat rapia itu kulepas,
penutup dus itu kusibak, bagian teratasnya sedikit membelalakkan mataku.
Tanganku bergetar. Lamat-lamat kain berwarna putih itu kujangkau. Baunya masih
sama seperti dulu. Warnanya pun tam
Assalam alaykum warohmatulloh wabarokatuh
“Bagaimana kabar Aldi? Apa dia sudah bisa jalan
sekarang?
“Abah ingat, bagaimana kamu berjalan tertatih,
berpegangan ke dinding, bingung harus berjalan ke arah mbu atau abah, dan kamu
tak tahu betapa bahagianya abah waktu kamu meniti dinding dan menghampiri abah,
kamu tertawa-tawa menggemaskan, sedang waktu itu perasaan abah was-was, takut
kamu jatuh. Dan abah menjunjung kamu setinggi-tingginya. Itu waktu kamu masih
berumur dua tahun, entah kamu ingat atau tidak.”
“Abah tahu, derajat ibu tiga tingkat di atas
abah. Dan surga pun memang derajatnya ada di bawah telapak kaki ibu saking
mulianya ibu. Tapi apa karena sekarang sudah tak ada Mbu, kamu enggan
pulang?Apa abah sudah tak layak dapat secangkir kopi dari anak perempuan abah?”
Tuhan, air mata yang menggenang kini telah
meluncur dengan sukses di pipiku. Aku hanya menutup mulutku, tak mampu
berkata-kata. Suara parau beliau terasa menyakitkan sekali.
Tuhan, anak macam apa aku? Dan satu yang semakin
membuatku sesak adalah aku melihat beberapa titik kertas yang berkerut. Itu
adalah tetes air mata abah yang telah mengering. Abah menangis. Abah menangis
ketika menulis surat ini.
Aku tersungkur dan menangis sesenggukan.
Aku ingat, ini adalah kain mukena yang abah
hadiahkan ketika aku juara kelas. Dulu aku sering diledek setiap hendak mengaji
karena mukena yang kukenakan saat sholat sudah lusuh. Dan Abah berjanji akan
menghadiahkan itu kalau aku bisa meraih juara di TPA itu.
Kucium mukena hadiah dari abah, kubaui dan
kurasakan bau tubuh abah, bau yang sama saat kupeluk abah sepulangku mengaji.
*****
Dengan tangan gemetar dan dada bergemeuruh aku
mengetuk pintu. Tak sabar rasanya ingin memeluk tubuh ringkih ayah. Tubuh
dengan tangannya yang kokoh yang dulu selalu menjunjungku setinggi-tingginya.
Menceritakan kisah epik masa lalunya.
Pintu pun terbuka. Beberapa detik kami
berdua hanya terdiam. tapi kulihat matanya mulai memerah, kantung matanya yang
mulai mengendur seolah menampung air mata yang ingin beliau curahkan. Bibirnya
mulai kisut dan gemetar. Aku ambruk dan langsung bersungkur di kakinya. Memeluk
erat betisnya. Aku terisak, tak mampu berkata-kata, tapi hatiku memohon maaf
karena rasa tercampakan yang menderanya. Aku mohonkan ampunan pada tuhan atas
orang yang paling berjasa dalam hidupku.
Aku memegang pisin berisi secangkir kopi hitam
yang masih mengepul, kopi kesukaan abah, dengan dua sendok gula. Mata beliau
masih berkaca-kaca, memandang ke luar lewat jendela kayu yang sudah tampak
lapuk itu. pandnagannya tertuju pada pohon jambu tempat aku sering bergelayut
didahan itu dulu. Kutaruh cangkir itu diatas meja. Abah tersenyum padaku, dan
aku hanya mampu mengulas sedikit senyum karena mataku rasanya tak berhenti
berair. Aku melihat Aldi yang tampak bersemangat bertanya banyak hal pada
kakeknya yang baru sekarang dia lihat. Kakek yang harusnya dia lihat dua atau
tiga kali setahun. Kakek yang akan membantunya mencari capung dan belalang di
sawah. Mengajaknya memetik mentimun atau cabe di ladang. Dan kakek yang akan
menceritakan tentang petuah hidup.
Untuk abah di seluruh dunia. Terkadang kami
anak-anakmu ini memang sering terlena oleh kehidupan kami yang baru. Kami
terbuai oleh indah dan gemerlap kota yang melenakan. Kami acap terlupa pada
sosok yang dulu menjunjung kami di pundak untuk memetik jambu. Kami sering tak
ingat bahwa dulu engkau yang mengajari kami naik sepeda, mengangkat tubuh kami
yang sering tertidur di depan tv. Kami sering buta oleh jasamu. Kami tak tahu
bahwa dalam diammu, hatimu mendoakan yang terbaik untuk kami. Di balik ketiadak
adaanmu di rumah, engkau bekerja terlampau keras hingga tubuhmu kaku. Kami
sering membantah, menolak hanya untuk menyuguhkan secangkir kopi sepulangmu
dari ladang.
Mungkin derajat ibu lebih tinggi darimu, tak ada
hari istimewa atas namamu, tapi engkau akan terus hidup dalam ingatan. Sosok
yang mengajarkan tentang kesabaran, keteguhan, dan kegigihan. Engkau marah agar
kami sadar atas kesalahan kami, engkau diam bukan tak sayang,
Aku tahu, banyak orang yang mengabaikan begitu
besar jasa seorang ayah. Ketika seorang ibu diagungkan, diperingati setiap
tahunnya, seorang ayah hanya bisa tersenyum. Seorang ayah tak pernah minta
pengahrgaan. Atau pengagungan. Seorang ayah hanya ingin diingat, meski diingat
setelah ibu.
Ketika seorang ayah memerahi anaknya yang pulang
larut malam, bukan karena dia pemarah. Tapi karena beliau takut anaknya akan
menyesal kemudian marah. Ketika kamu menangis dan dibelai ibu, bukan karena
ayah tak peduli, tapi ayah harus.
Ayah yang tercampakkan.
sdikit masukan, sama blajar ya.. :D
ReplyDeleteAda beberapa bahasa Yg kurang jelas Arti nya
Penyambung cerita Agak Kurang Pas
antara isi surat dan cerita harus dibedain penulisan nya..
selebih nya bagus..