Madu itu begitu manis aku rasakan diwaktu
itu, tiada hal lain yang dapat secara nyata aku lukiskan. Seakan bahagia
menyertai derap langkah kaki menuju keabadian yang haqiqi. Cinta ini adalah
gambaran dari keceriaan akan senyuman yang mengembang serta harapan masa depan.
Tiada cacat, tiada luka, dan tiada haru yang cukup kuat merengguh manisnya masa
ini.
Namun waktu kini yang sanggup membuat madu
menjadi semangkuk nila yang tak terbantahkan, merampas keserakahan yang
menjadi. Membuat apa yang dulu aku sebut kebahagiaan menjadi kesedihan yang
teramat dalam, menjadikan sebuah rekam kenyataan bagai sebungkus memoriam yang
hanya layak dikenang.
Dalam duka bermandikan tetes air mata, aku
terdiam mengenang. Amarah dan penyesalan kini kurasakan, namun diri masih
begitu egois untuk akui sebuah dosa. Diam ini hanya membuat luka bagai tersiram
cuka, dengan keangkuhanku kutuduhkan semua pada Tuhan. Seakan inilah
sebaik-baiknya cara menutupi aib yang melekat.
Aku memasuki sebuah labirin tak berujung
dimana aku hanya akan tersesat didalamnya. Tengadah tangan bersumpal sebait doa
kupanjatkan kepada Tuhan dengan rasa malu yang menyesaki segenap rongga dada.
Tangis tak terbantahkan ketika setiap denyut nadi pun ikut bertasbih
menyuarakan namanNya. Yaa Tuhan aku sungguh iba akan diriku yang hanya sanggup
kembali disaat yang sangat hina ini, yang hanya mengemis, meminta disaat aku
tak memiliki. Yaa Tuhan maafkan aku yang hanya sanggup menatap kelam
dalam gelap, maafkan aku yang begitu silau akan cahaya sehingga tak melihat
kemuliaan.
Dalam sujud kudengar bisik berdesir,
“Telah jatuh tempo”, “Telah jatuh tempo”. Seiring nafas yang semakin
berat kuhembus menyebut asma-asma Tuhan, kini kurelakan kedua malaikat
membawaku pergi dengan senyuman.
Devdan Dewa Risky.
0 comments:
Post a Comment