Entah sejak kapan hal ini terjadi, aku
merasa terlahir dengan lebih dari satu pembentuk diri. Dan keduanya
berbarengan, beriring berganti melengkapi kebingungan akan jati diri. Dulu
sebuah cerita dilantunkan kepadakku, tentang rahim yang tak berisi sendiri.
Canda dan lantunan kebahagian seakan melengkapi melodi-melodi indah dalam baris
nada keluarga besarku.
Namun seiring rembulan yang bergeser
dengan cahaya pagi di ufuk timur. Alunan melodi-melodi indah kebahagian
berganti dengan nyanyian penuh kekecewaan. Ketika tangis tunggal bayi lelaki
pecah ditengah meja persalinan. Entah salah siapa, tapi hanya aku yang hidup
dengan jerit taruhan nyawa.
Bukan aku, yang merasa terjebak pada tubuh
dengan jenis kelamin yang salah. Bukan aku juga, yang mendamba sang pejantan.
Namun aku, yang mersa aneh dengan dualisme yang bertautan hidup dalam satu
raga. Kujalani banyak masa dengan apa yang tidak aku mengerti, terkadang aku
berbincang pada diriku tentang siapa engkau, wahai dia yang berbagi tubuh
denganku.
Dalam pencarianku kudapati tentang dia
yang mengisi sebagian dari raga yang bernyawa. Dia adalah yang tak terlahir,
dari zigot dalam rahim yang sama denganku 19 tahun lalu. Tak tahu harus
bagaimana, tentang dia yang kini hidup dalam diriku menjadi dualisme yang
saling menyatu. Namun aku adalah aku, dan dia menyatu denganku. Kami tak akan
selamanya berbagi, dan dengan keegoisanku aku memilih untuk menyempurnakan diri
sebagai hamba Tuhan yang sejati, menepis kebingungan akan diri yang menjadi.
Devdan Dewa Risky.
0 comments:
Post a Comment