Terlepas aku dari nadi
yang tersayat dini hari, teredam aku pada jiwa yang sempat berontak ingin
diakhiri, ketika Tuhan beri kembali kesempatan kedua dari setitik cahaya yang
aku pinta setelah tetes air mata jauh ditengah gelap. Berharap semua jadi lebih
baik, sekejap mata berkaca akan hadiah yang tuhan berikan membuat diri bersujud
dirangkuhan-Nya, menjadi hati serasa dekat dengan senandung-Nya.
Tapi ini tak semudah
senyum yang mengembang dipagi hari, entah aku yang terlena akan manis semu yang
coba Tuhan bagi dan secepat itu pula pergi atau ini memang belum berakhir. Aku
terus saja berlari mencoba mencari arti pembenaran diri, diantara keramaian aku
merasa sunyi, gemetar diri menjadi ketika logika tak lagi mengambil alih.
Mata-mata itu tidak dengan tatapan biasa, mencoba menghujat dan menghakimi
diri.
Bukan lagi ketakutan
terselip menyelimuti, tapi ini aku yang lain terbentuk menjadi semacam jati
diri. Mengasing aku ditengah hiruk pikuk manusia, menjerit penuh kebencian.
Andai aku bisa, maka akan aku gadaikan jiwa ini kepada sang iblis hanya untuk
tertawa meringis. Akan aku relakan jika pada akhirnya iblis akan membawa diri
merasakan surga miliknya.
Jika ini jalan terakhir
untuk membalaskan dendam kepada mereka yang dengan kemunifakan dirinya mencoba
merengguh kebebasan dan dengan keserakahannya mencoba menjadi tuhan yang
sesungguhnya, maka dengan itu pula aku mengikhlaskan diri bersanding bersama
iblis hingga diakhir kehidupan . . .
Devdan Dewa Risky.
0 comments:
Post a Comment