Devdan
memang punya gaya yang aneh dalam menulis, dengan seenaknya melanggar tata
aturan hanya untuk kepuasan pribadi. Devdan bisa saja bermasalah dengan ini,
tapi sepertinya dia tidak begitu perduli. Yang penting baginya hanya bagaimana
menunjukkan luka yang sebagian besar dari kita coba untuk tutupi. Devdan seakan
memaksa setiap individu untuk keluar dari hal bodoh yang monoton namun tetap
saja kita lakoni, demi sesuap nasi.
Devdan
bagai anak umur 8 tahun yang memandang hidup ini harus selalu sama seperti
bermain ditaman. Namun rumah adalah tempat yang paling dia benci dan Ibu adalah
mahluk yang ia takuti. Sama seperti bos dikantor yang bisanya hanya memarahi
bukannya menghargai apapun yang coba kita lakukan. Devdan selalu benci tanggal
14 November karena ia tidak suka bertambah tua. Walau setiap anak selalu
berusaha untuk cepat dewasa tapi Devdan tidak.
Devdan
selalu saja dimarahi oleh Ibunya, yang terkadang tidak pernah mau tahu alasan
mengapa Devdan melakukan kesalahan. Devdan suka pertanyaan, Devdan suka
bertanya. Devdan suka jawaban, Devdan suka mencari jawaban. Tapi Devdan selalu
bingung untuk memulai.
Devdan
sebenarnya tidak suka membaca, karena setiap kalimat terlihat buram dimatanya.
Tapi Devdan tetap saja membaca walau dia kesulitan membaca, hingga kini
akhirnya Devdan tau jawabannya. Devdan ternyata mengidap dyslexia. Yang membuatnya
kesulitan membaca, merangkai kata, menerima lebih dari satu perintah bahkan Devdan
lemah dengan angka. Hal yang harus terlihat sempurna dimana Ibunya.
Cita-cita?
Devdan juga punya, dia ingin menjadi psikolog sedari kecil walau dia tidak tahu
alasannya. Hanya terlintas saja diotakknya dan menjadi tujuan hidupnya. Tapi
kini dia tahu. Dia ingin menterapi dirinya, dia ingin menyusun kembali susunan
yang rusak dalam dirinya. Yang bahkan orang tuanya buta akan itu semua. Yang
hanya bisa membandingkan Devdan dengan anak lain yang lebih baik, yang cepat
memuji seakan menghargai namun seketika itu pula menghancurkannya.
Namun perjuangan Devdan menuju tujuan hidupnya, tidak semudah sama seperti membuka mata dipagi hari. Orang tua selalu saja menjadi momok yang menakutkan bagi Devdan membuatnya takut kepada siapapun. Dia dipaksa berdiri dengan kedua kakinya. Tanpa pernah diberi tahu bagaimana caranya berjalan. Devdan dipaksa mengakui bahwa uang adalah segalanya, dan segalanya adalah tentang uang.
Secara
tidak langsung Ibunya meminta Devdan untuk menjadi budak dari uang. Sama
seperti ia yang telah diperbudak oleh uang itu sendiri. Sesungguhnya Devdan
berusaha lari, karena Devdan selalu menganggap kebahagiaan dan kebebasan bukan
tentang uang. Tapi tentang kita yang menghargai kehidupan itu. Devdan tidak
ingin menjadi dari mereka yang memakai topeng kehidupan, berusaha jujur tentang
diri mereka. Namun satu-satunya kejujuran itu adalah kebohongan itu sendiri.
Bagi
Devdan bekerja adalah wujud nyata dari cinta, jika kita tidak bisa bekerja
dengan kecintaan. Namun hanya bekerja dengan kebencian, lebih baik tinggalkan
pekerjaan itu. Lalu duduklah digerbang rumah ibadah untuk menerima derma dari
mereka yang bekerja dengan suka cita.
Devdan
selalu saja bingung mengapa Ibunya hanya dapat melihat kekurangannya dan
mencoba memperbaikinya, bukan sebaliknya. Devdan juga sudah berulang kali
memikirkan cara untuk mati. Berusaha mencari jalan pintas dari penyiksaan yang
membunuh jiwanya sejak bertahun lalu. Namun bisik tentang dosa selalu saja
menggema ditelinganya, membuat Devdan mengurungkan niatnya berkali-kali.
Devdan
terus saja mencari jalan terbaik untuk dia meraih cintanya, kecintaannya kepada
ilmu. Devdan selalu merasa iri kepada sosok yang berani menerobos batas. Kepada
mereka yang mencapai kebahagiaan dengan dasar ilmu yang ia cintai. Devdan juga
ingin merasa seperti itu, mencintai apa yang seharusnya Devdan cintai.
Devdan Dewa Risky.
0 comments:
Post a Comment