Dengan menulis tak lantas meluruhkan dosamu. Terisak tangis, tak
langsung berarti diterimanya doamu. Besumpal kata sesal dimulutmu, bukan
isyarat sudah benar taubatmu. Ya aku mengerti, karena itu aku terus saja
mencoba. Aku faham betul bahwa dosa akan selalu terukir. Dan setiap kataku
bukan bak mantra, yang lantas meluruhkan hatiNya.
Tapi tak lelah kah engkau berusaha? Atas pengakuan yang coba kau
pinta. Untuk doa yang selalu saja kau panjat. Aku tak meminta diakui, aku
hanya ingin mensucikan diri. Lelah memang dirasa, tapi apa aku harus langsung
berhenti berusaha?
Lalu mengapa tak benar saja kau hentikan, toh doamu tak pernah
nyuara? Jika ahli agama saja tak punya jaminan bahwa doanya akan selalu
didengar. Lantas bijakkah jika aku berhenti dan mengeluh? Jelas tidak.
Tapi kita berada pada raga yang sama. Dimana aku bosan jika hanya
menunggu harapan palsu. Bukan harapan palsu, janji Allah itu nyata. Hanya
terkadang kau saja yang tak dapat bersabar hati, menunggu Allah mengirimkan
cetak biru rencananya.
Lalu tinggalkan saja Tuhanmu itu, ketika kita dapatkan cetak
birunya. Hendak lari kemana? Jika bumi dan alam semesta berada ditangannya.
Akan sembunyi dimana? Jika matanya tak pernah letih mengawasi kita.
Sial, padahal aku hanya ingin bersenang-senang. Tanpa harus
terikat, ini jadi terasa berat. Lantas lantas kau mau apa? Ikhlas kan
dirimu, dan setiap langkahmu tak akan serasa terpasung. Lalu syukurilah manis
hidupmu.
0 comments:
Post a Comment