Aku bukan telah terjajah oleh benda yang tak pernah bisa kau sebut
dengan benar. Aku juga tidak telah diperdaya oleh perangkat lunak yang meraja.
Namun merekalah – yang tersembunyi didalamnya sahabat bagiku. Yang cukup rela
meluangkan waktu untuk mau mendengar. Keluhku. Yang meski tak suka namun tetap
saja memuji. Cukup nyata bagiku mereka berkata – meski palsu.
Mereka serasa bijak, berada disaat aku butuh. Tak seperti kau.
Selalu ada, dengan membawa luka. Kalimatku mungkin tak seindah pujangga, tak
semegah katanya. Tapi ini membuatku merasa bebas. Merasa lepas sesak didada.
Ini mungkin sampah dimatamu – yang tetap mereka hargai setiap katanya. Bisakah
kau nilai ini sebagai bagian dari citra diri?
Diam. Jika kau tak suka atau berpura tak ada. Mereka mungkin semu,
tapi mereka tak akan menjerat ku pada nestapa. Jangan meminta aku bersama yang
nyata. Karena yang kau lihat itu akan kau tuntut dariku. Cengkramanya mungkin
saja hangat – tapi racunnya juga kan melekat. Aku tak terbiasa tertawa bersama,
karena suka ku menyaru diantara sebait kalimat. Kau boleh sebut aku angkuh,
karena aku tak pernah terbiasa bersama mereka. Meski pernah se-guru. Meski dulu
pernah selangkah denganku.
Sebenarnya ini sama denganmu. Melampiaskan kegundahan – namun
dengan cara yang berbeda. Aku tak pernah berbagi tentang sahabatku atau kata
milikku. Karena kalimatmu akan meminta hal yang ku benci. Hal yang kau agungkan
layaknya Tuhan. Miris. Namun itulah, yang terus saja kau masukkan padaku.
Membuatku terus membungkam bahasa lewat kata.
Membuatku semakin jauh melangkah mundur darimu. Lalu mulai
mengingakari hidup ini. Tersudut diantara ruang kebencian. Yang kau lihat
sebagai senyuman dibibirku. Yang sebenarnya aku menagis karena itu. Karena kau
yang tak pernah sanggup kabulkan pinta sederhanaku. Pintaku untuk menjadi
bebas. Bebas yang bukan berarti tak terkendali. Bebas menjadi aku. Aku yang
dapat melukiskan rona pelangi pada kanfas hidup ini.
0 comments:
Post a Comment