Aku tahu lidah inilah dusta yang sesungguhnya. Dan hal ini telah
berulangkali terfikir. Bahwa diam yang kini menyelimuti adalah hasil dari hati
yang tak pernah dapat mengatakan sebaliknya. Hati yang terus saja memaksamu.
Mengakui. Bahwa aku ada untuk mencintaimu. Hati yang dengan keegoisannya mulai
menggores luka dihatimu. Yang tak dapat cintai aku.
Mengapa aku terus saja memaksamu menerima hal yang hanya akan
berakhir lara didirimu? Mengapa aku yang angkuh ini, selalu berbangga diri atas
cinta yang dimiliki? Padahal kau terluka akan dilema. Sumpahku membahagiakanmu.
Namun mengapa aku malah menyiksamu dengan rasaku. Harusnya ku tutup rapat saja
“kotak pandora milikku”.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz_Nhg3JeXui_dKKOFWa1Nov-n_5T0G4RroQsN_xCU-r5ESNTHQ0VAJkkj5Onq3PUJaeNeuYeX3S4ywC7ldIV7L9sW4TF9FxbWagyWfiFb-QI7vBYPk8xUOm9pk4W27W-US31KP6Ez6o4/s1600/43.jpg)
Atau kembali menunggu. Menunggu kau menghilang dari hidupku. Yang
artinya membunuh aku sekali waktu. Waktu. Andai aku tahu caranya memanipulasi
waktu. Andai aku tahu memutar kembali detak waktu yang berjalan maju itu. Aku
tak akan pernah biarkan kau pergi. Pergi begitu jauh dariku. Setidaknya hingga
kau kembalikan hatiku yang terampas. Bersama tangis kala itu.
Yang kini menjadi sebungkus diam yang tak berujung diantara kita.
Lalu saling menyakiti satu sama lain. Entah hingga kapan. Mungkin hingga aku
lelah mencinta. Tapi aku tak akan pernah lelah. Meski bernanah. Meski kau
mendorongku untuk jatuh lebih dalam. Aku akan terus menjadi langit dibalik awan
yang kau tahu. Yang kau lihat. Tapi tak dapat kau rasa.
0 comments:
Post a Comment