Butuh waktu bertahun-tahun agar mereka mau mendengar betapa aku
sungguh mencintai ilmu itu. Butuh bertahun-tahun hingga akhirnya hati yang
terselubung ego itu terketuk tuk dapat akui betapa besar niatku pada ilmu.
Hingga aku patah arang. Hilang segala daya tuk dapat lagi bertahan
dengan jalan yang ingin aku tempuh. Tapi semua seakan memaksa ku untuk
menyerah. Dan akhirnya aku menyerah. Menciptakan peperangan yang tak berujung
pada kata sepakat. Rasa yang membelenggu aku pada benci. Benci yang sesungguhnya
hanya inginkan kebebasan.
Dan aku memilih untuk diam. Diam dan tak lagi mengusik niatku yang
tak akan pernah menjadi sesuatu. Sampah. Awalnya kukira ia mempersiapkan aku
untuk itu. Untuk berulang kali gagal dan dihancurkan. Berulang kali merasa tak
berdaya agar dapat diperdaya. Dan menjadi boneka yang terus terkendali dalam
hirarki yang menakutkan. Lagi. Tersudut dalam memori kesendirian.
Tapi ini belum berakhir. Satu bisikan kecil ditelingamu ternyata
mampu meluruhkan hati yang selama ini tak dapat kutembus. Meski berkali-kali
aku coba. Meski berulang kali aku memaksamu mengerti tapi tak jua berhasil.
Tapi mengapa suara itu mampu melakukannya dengan mulus dalam sekali hembusan
nafas. Aku iri. Dan aku jadi begitu marah pada diriku yang tak sanggup melakukannya.
Sekaligus berterimakasih. Karena bisiknyalah yang membuka matanmu
akan keberdaanku. Saat ini. Waktu yang mungkin entah kapan aku masih merasa
takut untuk kehilangan kesempatan itu.
Karena ku tahu ia bisa secepat kilat beralih arah haluan. Untuk mengurungku
pada sangkar yang sama. Sangkar yang bertahun aku berusaha untuk kabur. Tapi
tak bisa. Tapi walau bagaimanapun aku akan berjuang dengan mempertaruhkan
ragaku. Meski juga harus menggadaikan jiwaku. Untuk agar aku dapat mencintai
apa itu kebebasan. Kebebasan yang menyeret aku pada aku yang sebenarnya. Jiwa
yang selama ini terkubur dalam ketakutan.
0 comments:
Post a Comment