Sebuah kehidupan selalu ada dengan tujuan. Dengan niat yang telah
ditentukan bahkan sebelum kita terlahir. Entah oleh siapa dan mengapa? Tapi
manusia tak akan pernah berhenti mencari arti. Arti yang telah memudar tergerus
oleh keinginan dan rasa tahu. Terlewat dan terus menurun ke generasi baru
membawa begitu banyak jawaban. Tapi tak seutuhnya.
Dan entah mengapa dunia pun mulai berubah. Menggiring manusia ke
masa-masa yang semakin sulit dipahami. Menebar aroma yang menusuk hidung. Aroma
kengerian masa depan. Tapi mereka justru terlihat asyik dengan ini. Dengan hal
monoton yang mengganggu pandang. Hidup yang berbagi kepalsuan terasa begitu
menyenangkan saat ini. Tak ku pahami.
Mereka sepertinya bergerak karena arus. Karena sebuah jalan yang
entah kemana akan dituju. Berjalan sesuai nurani yang teracuni. Mungkin ini
pilihan dimasa ini. Cara yang aneh untuk sekedar dapat melihat mentari senja
esok hari. Mungkin kah ini pilihan?
Mau pilih yang mana ?
Setiap orang selalu benci pilihan, lebih benci lagi jika kita tidak
memiliki pilihan sama sekali. Bagaimanapun pilihan selalu saja diambil sebagai
arti tindakan tegas. Lalu. Jika apa yang telah kita putuskan itu tidak berjalan
dengan baik, terkadang kita terlihat menjadi orang yang terlalu dewasa. Berkata
bahwa ini semua adalah kehendak Tuhan. Tahu dari mana? Mengikhlaskan segala
daya dan upaya yang telah dilakukan dimasa lampau. Sambil meratapi kesalahan
didalam hati. Penyesalan.
Hasil akhir yang sesumbar keluar dari bibir si renta karena semua
tak seperti yang dikira. Dan menjadikannya sebagai wejangan terbaik untuk si
muda. Niatnya agar ia tak juga terperdaya. Oleh pilihan yang pada akhirnya
hanya berakhir cerita lara dimasa tua. Tapi yang muda kini tak lagi menganggap
itu sebagai bagian dari pepatah yang tua. Hanya berlalu dengan anggukan hingga
hal yang serupa juga menjadi miliknnya. Lalu menurun menjadi tradisi yang
samar.
“Dulu” dan “Sekarang” hanya beda cara.
Kita ini juga makhluk yang terlampau rumit dimengerti. Walau
katanya akal-lah yang menjadikan kita raja di planet ini. Dan akal-lah yang
membuat kita berbeda dari segala jenis kehidupan dibumi. Tapi justru kelebihan
yang hanya milik kita ini. Yang membuat manusia menjadi makhluk yang terlalu logis
dan semakin sulit dipahami. Semuanya tak seperti yang terlihat.
Karena evolusi yang sesungguhnya adalah perubahan dari naluri
menjadi logika. Terlihat sangat jauh berbeda tapi pada hakikatnya memiliki cara
kerja yang sama. Untuk apa? Bertahan hidup tentunya. Karena rimba telah tiada
berganti metropolitan yang penuh cahaya. Meski dalam gelap.
Sebab hukum rimba tak mati seutuhnya hanya bertransformasi kata. Dan
yang kuat selalu rela menjadi penindas yang lemah. Brutal. Terlalu liarkah jika
aku menggunakan kata itu? Untuk mewakili perubahan tabiat manusia yang menjadi.
Karena ini sudah bukan lagi untuk sekedar mempertahankan diri. Tapi siapa yang
memegang kendali? Kendali yang tak terlihat lagi dimana pusatnya. Karena semua
telah tercampur berbaur dengan apik diantara mata awam sekalipun. Lalu terlontar
kalimat bahwa ini adalah hal yang biasa.
Biasa karena kita telah terbiasa terbudak dengan cara yang salah.
Lalu menelantarkan agama dengan cara yang biasa. Atau mungkin ia pun telah
beradaptasi dengan waktu. Menjadi sekali lagi teraduk dalam benar dan salah
yang tak ada bedanya. Dulu dan sekarang adalah sama pada prinsipnya. Hanya cara
yang terkesan lebih apik dari sebelumnya. Tapi justru lebih berbahaya dibanding
panah dan pedang untuk berperang.
Dibanding perut yang kelaparan berburu meminta makan. Rasanya lebih
sopan ketimbang manusia yang tak ubahnya binatang yang rela mengais melakukan
segalanya demi kata “kenyang”. Dengan berbagai cara. Mengaku telah jaya tapi
tetap saja terjajah karena kita tak akan pernah bisa merdeka. Selama manusia
hidup dalam nafsu yang kerap menggila.
Waktu.
Rasanya adalah obat paling mujarab untuk mengatasi dilema yang tak
berujung. Rasanya pelampiasan paling baik dari hal yang dirasa tak berjalan
baik. Dan waktu dengan pasrah menerima cemooh bagi mereka yang telah pupus
harapan. Kalah dalam perang kehidupan yang memalukan. Tapi terus bergerak maju
meninggalkan pecundang dalam memori masa lalu yang penuh penyesalan.
Tak perduli seberapa keras mereka berusaha. Meraka hanya akan gagal
berulangkali. Karena dunia seakan menenggelamkan mereka kedasar. Dan menyisakan
petarung terbaik untuk bertahan hidup. Memanipulasi waktu adalah impian
terakhirnya yang tak akan pernah menjadi kenyataan meski hanya dalam mimpi.
Berandai hal yang hanya dianggap ilusi semata tanpa pernah menjadi realita.
Waktu selamanya akan terus menjadi saksi sejarah yang tak terhenti.
Merekam jejak langkah hingga mati. Waktu selamanya akan menjadi mata yang tak
akan pernah buta. Bagaimana manusia mengubah dunia. Dan waktu sekaligus menjadi
harapan terakhir manusia yang memperjuangkan perubahan. Perubahan dari ketidak teraturan
yang teratur. Dari meraka yang secara sadar menginginkan siklus yang terulur
dalam garis kehidupan yang sebenarnya. Dianggap mimpi dimasa ini.
Manusia sejatinya hanya merasa kosong. Kesepian. Tapi entah karena
apa? Dan entah mengapa? Kerenanya manusia terus saja mencari jawaban. Dari
pertanyaan yang ditimbulkan oleh benaknya sendiri. Manusia terus saja berusaha
menemukan sejuta cara untuk menghentikan rasa tak nyaman di dirinya. Karena
manusia telah lupa dan melewatkan hal terpenting dalam hidupnya. Hidupnya yang
terorientasi pada dunia.
Tuhan. Yang tak lagi bersarang dihati. Tuhan. Yang selama ini hanya
dianggap agnostik keberadaannya. Tapi secara sadar inilah kebenarannya.
Meninggalkan kerinduan didirimu yang tak kau tahu. Yang telah menua karena kau
hanya mengenalnya sebatas nama. Tuhan. Jalan terakhir berpulangnya manusia.
0 comments:
Post a Comment