Mau berapa kali di cegah pun aku tak akan berhenti. Melukis tawa
dilangit pagi. Mau berapa kali dilarang pun aku akan terus pergi. Mengamati
sang mentari. Aku terduduk menangis karena sepi. Karena semua orang yang
kukenal kini pergi. Pergi untuk mencari sesuap nasi. Mereka tak ingin lagi
bersamaku saling berpegang erat dan mengembangkan senyum bersama. Mereka tak
ingin lagi bersamaku untuk sekedar menghabiskan hari ini dengan canda.
Karena entah mengapa mereka menjadi berubah. Menjadi terlihat
seperti kebanyakan orang yang tak lagi memiliki tawa yang sama. Tawa yang hanya
berarti kepalsuan. Dan aku membenci mereka. Aku jadi begitu membenci mereka
yang dengan mudah menjadi berubah karena waktu. Yang berotasi mengantarkan
mereka pada apa yang sering disebut kedewasaan.
Entah apa yang disebut dewasa itu? Entah apa yang mereka inginkan
dengan menjadi dewasa? Mengapa mereka menjadi dewasa? Aku terdiam mencari arti
yang tak dapat kutemui. Kecuali. Akupun ikut menjadi bagian dari kedewasaan
yang mengubah banyak dari mereka yang kukenal.
“Aku
benci menjadi dewasa
Yang
tak dewasa. Karena aku tak tahu artinya
dewasa”
Tapi aku menolak. Aku menyangkali kedewasaan yang kerap
menghampiri. Memeluk erat aku dengan sesak. Aku menyatakan perang pada
kedewasaan yang tidak mewakili aku. Karena aku membencinya. Kehilangan
orang-orang yang kukenal, orang-orang yang pernah berjalan bersama. Mengubah
setiap kepolosan menjadi ragam kebohongan.
Aku benci menjadi sama dengan mereka. Mengambil naskah kehidupan
yang tak lagi berisikan cinta. Ya kecintaan yang begitu banyak kini memudar
arti. Karena cinta menjadi soal materi. Menjadi perkara lain yang diakhiri.
Tak mengapalah jika ku hidup tanpa dicintai. Tapi aku akan terus
berjalan dengan cinta. Dengan pemikiran sederhana. Bahwa hidup harus selalu
sama seperti bermain. Hidup adalah senyuman. Dan hidup adalah anak-anak. Tapi
aku bukan kekanak-kanakkan aku hanya menolak menjadi dewasa.
Aku ingin memandang dunia dengan caraku. Cara yang menyenangkan
bagiku. Meski takut menghampiriku karena wajah-wajah bertopeng mulai melirik ke
arahku. Dan menghujat dalam diam yang ku tahu. Tentang aku yang terus saja
berlaku semauku. Atau. Mungkin mereka iri denganku yang tak tapat lagi
menggenggam keceriaan. Karena aku seorang bocah.
0 comments:
Post a Comment