Aku Bocah Yang Menolak Kedewasaan

by 00:00 0 comments
Mau berapa kali di cegah pun aku tak akan berhenti. Melukis tawa dilangit pagi. Mau berapa kali dilarang pun aku akan terus pergi. Mengamati sang mentari. Aku terduduk menangis karena sepi. Karena semua orang yang kukenal kini pergi. Pergi untuk mencari sesuap nasi. Mereka tak ingin lagi bersamaku saling berpegang erat dan mengembangkan senyum bersama. Mereka tak ingin lagi bersamaku untuk sekedar menghabiskan hari ini dengan canda.

Karena entah mengapa mereka menjadi berubah. Menjadi terlihat seperti kebanyakan orang yang tak lagi memiliki tawa yang sama. Tawa yang hanya berarti kepalsuan. Dan aku membenci mereka. Aku jadi begitu membenci mereka yang dengan mudah menjadi berubah karena waktu. Yang berotasi mengantarkan mereka pada apa yang sering disebut kedewasaan.

Entah apa yang disebut dewasa itu? Entah apa yang mereka inginkan dengan menjadi dewasa? Mengapa mereka menjadi dewasa? Aku terdiam mencari arti yang tak dapat kutemui. Kecuali. Akupun ikut menjadi bagian dari kedewasaan yang mengubah banyak dari mereka yang kukenal.

“Aku benci menjadi dewasa
Yang tak dewasa. Karena aku tak tahu artinya
dewasa”

Tapi aku menolak. Aku menyangkali kedewasaan yang kerap menghampiri. Memeluk erat aku dengan sesak. Aku menyatakan perang pada kedewasaan yang tidak mewakili aku. Karena aku membencinya. Kehilangan orang-orang yang kukenal, orang-orang yang pernah berjalan bersama. Mengubah setiap kepolosan menjadi ragam kebohongan.

Aku benci menjadi sama dengan mereka. Mengambil naskah kehidupan yang tak lagi berisikan cinta. Ya kecintaan yang begitu banyak kini memudar arti. Karena cinta menjadi soal materi. Menjadi perkara lain yang diakhiri.

Tak mengapalah jika ku hidup tanpa dicintai. Tapi aku akan terus berjalan dengan cinta. Dengan pemikiran sederhana. Bahwa hidup harus selalu sama seperti bermain. Hidup adalah senyuman. Dan hidup adalah anak-anak. Tapi aku bukan kekanak-kanakkan aku hanya menolak menjadi dewasa.


Aku ingin memandang dunia dengan caraku. Cara yang menyenangkan bagiku. Meski takut menghampiriku karena wajah-wajah bertopeng mulai melirik ke arahku. Dan menghujat dalam diam yang ku tahu. Tentang aku yang terus saja berlaku semauku. Atau. Mungkin mereka iri denganku yang tak tapat lagi menggenggam keceriaan. Karena aku seorang bocah.

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 comments:

Post a Comment