Ini senja yang ke? Ah sudah lama sekali. Hingga aku lupa senja
keberapa ini. Karena mentari pun menjadi serupa, tak berbeda. Sembari
melangkahi beberapa gumpalan putih yang kausuka ku berjalan membelakangi mega
kala itu. Menghirup aroma alam tapi hanya berbau belerang. Bukan aroma tubuhmu
diujung hidungku. Aku sadar kau memudar. Berhembus karena apa aku tak tahu tapi
ada sisi yang sedang pilu.
Ada kaki yang kini tak lagi berjalan. Berlari. Tapi entah hingga
kapan? Hingga nafas terengah kah atau hingga kakimu lelah melangkah? Kau sedang
terluka karena nyatanya kita tak bisa mencinta. Kau kira aku tak tahu kau
berdusta? Meski kerap kali kau tertawa didepan samudra, tapi tawamu itu penuh
dengan tanya. Tanya karena kehampaan diantara kita, meski sedang bercumbu
bersama. Meski sesaat dekapmu menghangatkanku tapi beku rasamu tak pernah
mencair meski bersama waktu.
Pecuma jika kau harap waktu akan berpihak padamu. Karena nyatanya
jika kita dipertemukan dikehidupan yang lain. Kita hanya akan mungkin bersama
dalam cinta. Mungkin. Karena jodoh bukan cahaya ditelapak tanganmu. Dan tuhan
bukan tempatmu memaki takdir yang kini membendung tangismu. Lalu kau hendak
kemana? Kau sejatinya bukan pengembara
kan. Kau hanya mengais asa. Mencari puing demi puing, retakan dari retakan akan
kesepian.
Kehampaanmu yang tak akan berujung. Hanya terus berusaha walau kau
tahu tak ada. Dan semakin tak kukenal. Bukan aku lelaki yang tak tergoyahkan
aku bahkan serapuh ilalang dipadang gersang. Tapi aku senang bisa mencinta
meski sedarhana. Bahagia bisa bersama meski dalam duka. Meski aku harus
menikahi waktu.
0 comments:
Post a Comment