Ketika ku ucap kepadamu shanju, tentang 507. Kau tahu maksudku.
Ketika ku bercerita tentang si pencuri madu. Ku tahu kau marah padaku. Dan kini
kebenaran yang sesungguhnya telah terungkap. Karena waktu yang menunjukkan
jalannya. Bahwa aku tak salah mengambil keputusan waktu itu. Yang salah adalah
karena aku tak percaya. Dan menoleh kepada si pendusta. Percaya setiap
ucapannya. Dan tenggelam dalam dekapannya. Dekap sakit hati kini.
Maafkan aku walau meski kau tak tahu tapi aku pernah menghianatimu.
Meski kau tak tahu aku pernah mengingkari janji kepadamu. Dan kini setelah
perpisahan kita berdua yang tak terduga. Perasaan sedihpun ditinggalkan begitu
saja didalam mata. Dan bayang akan dirimu masih menggantung dibola senja.
Aku merindu mu. Berulang kali hati menjerit mengetuk milikmu. Aku
merindu. Bahkan aku merindu diammu. Aku merindu bekas jejak langkahmu disana.
Sesekali ku datang, melihat ilusi dirimu yang lalu lalang. Dan bercengkrama
dengan sesama. Aku rindu punggungmu yang kutatap tajam ketika kau berjalan
mendahului aku. Lalu berbalik dan tersenyum kepadaku. Aku rindu itu. Tapi
mungkinkah setiap tumpukan rindu yang telah menggunung kini sanggup tercurah
kembali padamu?
Karena aku tak akan mungkin menyapamu dan berkata begitu. Sebab
diantara kita mungkin kau anggap masa lalu. Bersama, aku dan kau setuju untuk
mengakhiri hubungan ini dengan baik. Juga dengan alasan yang terucap darimu.
Aku menghargainya. Tapi cinta ini bagaimana? Masih memintamu bersamanya. Walau
nyatanya kini aku telah bersama yang lain. Tapi aku hanya dapat merefleksikan
dirimu padanya.
Aku bingung bagaimana hendak bersikap. Aku bingung bagaimana harus
bertingkah. Karena ku gelisah. Karena ku tak sanggup berpura bawa cinta masih
singgah didada. Shanju haruskah ku bagi rinduku padamu. Haruskah ku ceritakan
tentang tangisku. Lalu berpura lupa bahwa diantra kita telah melepas ikatan
yang dulu. Haruskah aku melakukannya karena ku masih begitu enggan berpisah.
Dan biarlah kita bersama meski dalam sebuah rahasia.
0 comments:
Post a Comment