![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrZW7JxzzvfgXP2Mzua27JaWJA01osQ8zVZS3S1C3xHIScVHtD22IurYzGyFkxBie8uBCzoEnam3jl244SQV-3rVT5ogVa0xGXPoYBRN9eJvpNcCk9uNFVf1FvSxcl-Mfqao5XXblrIis/s400/Gambar+11.jpg)
Bukankah dulu hujan adalah sahabat kita
Ri, berlarian diantara genangan air yang meluap hampir banjir. Lalu kini hujan
menjadi penghubung antara aku dengan kenangan itu. Aku masih tetap menikmatinya
seperti dulu, sesekali membiarkan tubuhku basah atau menatap dibalik kaca yang
mengembun bersama secangkir kopi. Ku bau-i semua percampuran antara wangi kopi
dan tanah yang basah karena hujan lalu merekatkan kedua tangan memeluk erat
diri.
Suhunya kadang cukup sejuk untuk udara
kota ini yang selalu panas, cukup dingin untuk dibandingkan dengan perasaan
yang membeku.
Aku mencitai hujan sama seperti aku
mencintaimu. Hujan membantuku merasakan hangat tubuhmu ketika ia menyuh kulitku,
angin membawakan suaramu keujung telingaku. Hujan basahi aku dihari itu, hujan
hapuskan air mataku di hari itu. Karena bagaimanapun disaat itu ikhlas adalah
taruhanku.
0 comments:
Post a Comment