Sejatinya aku telah benar-benar bosan. Mengumbar setiap kebencianku
dalam paragraf-paragraf diksi. Bukan aku tak punya kebahagiaan untuk dibagi.
Bukan aku tak sanggup merangkainya menjadi keceriaan diatas kertas ini. Tapi
jumlahnya tak pernah sepadan akan apa yang merasuki. Jangan berkata aku tak
mensyukuri hidup ini! Tapi apa yang seharusnya aku syukuri?
Apa kehidupan yang seperti ini? Yang kau pun tahu – penuh luka
disetiap sendi. Aku selalu benci mengakui bahwa aku terikat. Garis keturunan
yang membelenggu ini. Rumah ini sudah menjadi seperti neraka bagiku. Neraka
yang menghancurkan jiwaku. Berulang kali. Aku selalu iri melihat canda yang
melekat. Rasa cinta yang sesungguhnya ada. Antara kau dan dia.
Dan aku hanya selalu berpura. Berpura melengkungkan senyum dihadapan
orang yang berkuasa. Berpura tak terjadi apa-apa. Namun dalam hati menyimpan
murka yang meradang. Kebencian yang tak berujung. Ia pun sama. Menatapku dengan
tatapan hina. Memperlakukanku dengan sikap mengasihani.
Bukan aku tak mau keluar dari garis yang menyengsarakan batin ini.
Tapi kemana aku akan pergi? Jika kaki ini terantai besi. Jika aku terus saja
dipaksa hancur. Demi memuaskan batinnya, memperolok aku. Aku lebih baik memilih
tersiksa ragawai asal jangan batin ini. Terlambat.
Luka tak akan pernah bisa terobati. Hanya terus menjadi. Jika nanti
ia mendapati aku menyilangi arus. Jangan pernah tampar aku. Karena aku hanya lari,
lari dari aturannya yang tak pernah mengimbangi. Karena mungkin dengan cara ini
saja. Ia mau mendengar kataku.
Mendengar setiap dukaku yang selalu berakhir lirih. Dukaku yang tak
pernah mau didengar karena ego diri. Atau karena kebanggaannya terhadap putra
orang lain. Dan kebahagiaan yang berakhir dengan pemberontakan diri. Yang ingin
dimengerti.
0 comments:
Post a Comment