Ketika jantung ku memompa
lebih cepat dan meminta oksigen beredar lebih sering. Aku hanya kalap. Dada
menjadi sesak, tak tahu harus kuluapkan kemana. Hanya dapat kutuang lewat
narasi yang tak begitu apik. Sederhana. Bahkan kamu bisa bilang ini
berantakkan, karena terkadang tak mengindahkan keadah bahasa.
Aku mengedar bersama rintik
hujan. Pipiku basah sama seperti bumi yang becek. Hatiku mencinta terbagi
menjadi dua serambi. Namun aku selalu terlambat, terlambat menyimpan rasa, terlambat
menyadarinya dan terlambat untuk ku ungkap.
Hingga menjadi diam!
Tak terungkap. Aku bukan orang
yang baik, jika hendak pergi maka pergi lah. Jika terlalu takut aku terluka aku
sudah terluka bahkan sebelum memulai mencinta. Aku mencintai seseorang yang tak
lagi dapat mencintai. Hatinya telah tawar bahkan untuk orang yang mencintainya
sampai kadar setengah mati, memintaku untuk menunggu sampai jantungku ikut mati
rasa agar cinta segera kadaluarsa.
Tapi aku tak bisa. Meski hati
tak lagi bernyawa tapi jantungku bersikukuh sekeras baja. Ku letakkan dalam
toples kaca, lalu ku serahkan padamu. Meski ku tahu ia akan percah, jantungku
tak banyak bicara ketika ku cerabuti belingnya. Diam. Meski ia tertatih ia
tetap ingin bertahan.
Sampai kapan?
Cinta tak punya batas waktu.
Karena cinta bahkan tak bisa terdefinisi dengan sebuah kesepahaman. Cinta itu
kamu juga tahu, lebih rumit ketimbang persamaan kuadrat. Lebih candu dari pada
psikotropika yang salah tempat.
Aku tak minta pendaran
pelangi. Menjadi hitam dibalik terangmu adalah keabsahan bagiku. Bahkan satuan
jarak tak lagi kupersoalkan. Kamu akan jadi milikku. Bersua denganmu, menenun
tawa dan tangis dalam satu rupa. Sambut aku dalam keriuhan dunia.
Lewat imajiku semata.
0 comments:
Post a Comment