Aku
mendamba seseorang untuk dapat saling berbagi kasih bersamaku. Aku lebih dari
mengharapkan seseorang hadir sebagai penawar rindu. Dari cinta yang tak tahu
kemana akan singgah. Tapi aku bukan pengobral cinta. Menawar hati lewat
senyuman. Aku bersungguh ingin mencinta dan merasa dicinta. Aku pernah merasa
tapi aku tak yakin itu cinta. Hanya tubuh yang sempat kuserahkan padanya.
Aku juga
pernah merasa di sakiti hatinya. Merana karena telah begitu percaya namun
ditinggal dipenantian. Atau berujung diam yang mulanya aku tak tahu akan
berakhir hingga kapan. Hanya aku yang terus mengetuk pintu hatinya dan sesekali
berbisik ditelinganya. Agar ia sudi memalingkan wajahnya menatap aku. Namun
lagi aku ditinggal sendiri menanti dengan gelisah yang menggantung. Apa aku
salah? ataukah aku ini memang tak layak dicintai?
Tapi aku
justru tak tahu apa itu cinta ketika merasa memilikimu. Apakah setiap cinta
akan selalu menyakiti? Apakah cinta adalah derita yang berbeda rupa? Tapi
mengapa semua selalu mengagunggkan cinta. Merasa bahwa cinta dimata pujangga
adalah surga. Aku hanya ingin mencintai bukan menyakiti. Namun mengapa segala
daya yang kulakukan selalu berujung luka didadamu. Awalnya aku hanya ingin
dimanja oleh tingkahmu. Namun yang terjadi aku yang menyakitimu lewat laku ku.
Dan ini
amarah terbesar didirimu yang meluap karenaku. Lalu seketika membuatku takut
kehilanganmu. Juga takut kembali menyayat hatimu esok. Ketika semua telah
mereda, ketika semua telah terlihat kembali seperti semula. Hanya sebatas mata.
Karena jelas dihatimu menyisa bekas luka karena kau terhina oleh kataku. Meski
maaf terlontar namun tak cukup menjadi penawar. Entah memperparah atau malah
sebaliknya.
Ah!
Mencinta ternyata lebih sulit ketimbang menguraikannya lewat bahasa. Ketimbang
berandai tentang ilusi cinta. Namun membangunnya dibayangi rasa bersalah. Kini
aku diam dan dia juga sama menyimpan diam. Aku menjadi takut bersuara. Takut
lidah ini terlalu tajam mengoyak rasa. Padahal aku hanya ingin mencinta. Takut
jemari ini salah merangkai kata. Padahal aku hanya ingin bercengkrama.
Sakiti
aku jauh lebih baik ketimbang menyakitimu. Melihatmu terluka dan terpapah
karenaku. Aku jadi tak punya daya hanya sesal yang menyesaki dada. Tapi
bertahan berapa lama? Sampai semua jadi hambar kah? Sampai cinta kita berubah
menajdi benci kah? Atau cinta memang selalu seperti ini. Diselingi rasa yang
tak dapat kumengerti. Aku sudah takut berandai jika hanya pandai berkata. Lalu
membenci cinta itu sendiri. Cinta tak pernah selesai walau ku melarikan diripun
terlahir kembali. Cinta tak pernah selesai lewat kata. Cinta tak pernah usai
dengan merasa.
0 comments:
Post a Comment