Hari Ke 4: Luka

by 17:07 0 comments
Aku mendamba seseorang untuk dapat saling berbagi kasih bersamaku. Aku lebih dari mengharapkan seseorang hadir sebagai penawar rindu. Dari cinta yang tak tahu kemana akan singgah. Tapi aku bukan pengobral cinta. Menawar hati lewat senyuman. Aku bersungguh ingin mencinta dan merasa dicinta. Aku pernah merasa tapi aku tak yakin itu cinta. Hanya tubuh yang sempat kuserahkan padanya.

Aku juga pernah merasa di sakiti hatinya. Merana karena telah begitu percaya namun ditinggal dipenantian. Atau berujung diam yang mulanya aku tak tahu akan berakhir hingga kapan. Hanya aku yang terus mengetuk pintu hatinya dan sesekali berbisik ditelinganya. Agar ia sudi memalingkan wajahnya menatap aku. Namun lagi aku ditinggal sendiri menanti dengan gelisah yang menggantung. Apa aku salah? ataukah aku ini memang tak layak dicintai?

Tapi aku justru tak tahu apa itu cinta ketika merasa memilikimu. Apakah setiap cinta akan selalu menyakiti? Apakah cinta adalah derita yang berbeda rupa? Tapi mengapa semua selalu mengagunggkan cinta. Merasa bahwa cinta dimata pujangga adalah surga. Aku hanya ingin mencintai bukan menyakiti. Namun mengapa segala daya yang kulakukan selalu berujung luka didadamu. Awalnya aku hanya ingin dimanja oleh tingkahmu. Namun yang terjadi aku yang menyakitimu lewat laku ku.

Dan ini amarah terbesar didirimu yang meluap karenaku. Lalu seketika membuatku takut kehilanganmu. Juga takut kembali menyayat hatimu esok. Ketika semua telah mereda, ketika semua telah terlihat kembali seperti semula. Hanya sebatas mata. Karena jelas dihatimu menyisa bekas luka karena kau terhina oleh kataku. Meski maaf terlontar namun tak cukup menjadi penawar. Entah memperparah atau malah sebaliknya.

Ah! Mencinta ternyata lebih sulit ketimbang menguraikannya lewat bahasa. Ketimbang berandai tentang ilusi cinta. Namun membangunnya dibayangi rasa bersalah. Kini aku diam dan dia juga sama menyimpan diam. Aku menjadi takut bersuara. Takut lidah ini terlalu tajam mengoyak rasa. Padahal aku hanya ingin mencinta. Takut jemari ini salah merangkai kata. Padahal aku hanya ingin bercengkrama.


Sakiti aku jauh lebih baik ketimbang menyakitimu. Melihatmu terluka dan terpapah karenaku. Aku jadi tak punya daya hanya sesal yang menyesaki dada. Tapi bertahan berapa lama? Sampai semua jadi hambar kah? Sampai cinta kita berubah menajdi benci kah? Atau cinta memang selalu seperti ini. Diselingi rasa yang tak dapat kumengerti. Aku sudah takut berandai jika hanya pandai berkata. Lalu membenci cinta itu sendiri. Cinta tak pernah selesai walau ku melarikan diripun terlahir kembali. Cinta tak pernah selesai lewat kata. Cinta tak pernah usai dengan merasa.

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 comments:

Post a Comment