![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzHcGo4bBBoLp8cct6rnuUwzqbUuKjEMm8nJdzkXPzmnEC1fxsc8VvfNoKNDm2vIXg9uE8qMF5b9umIyYgg29RlvqL3sFL7ZmE7BXP52-tO8UPu-dsZ2IH3T8EUPxJs5x3qaTz_N8Jx2w/s320/010232900_1461920135-29042016-senyum.jpg)
Lelaki setengah waras itu mempermalukanku
dalam hitung waktu. Ia jadi begitu rasional dimataku. Bahwa dunianya tak ada
satupun mengganggu. Mata-mata yang melihatpun tak perlu meragu, yaa karena ia
sedang meluapkan perasaan tanpa identitas semu. Lelaki itu menjadi begitu jujur
dihadapku, bahkan mungkin juga lebih mujur.
Meramu hidup tak perlu takut kehilangan
hidup, tak perduli menyeka, tak perduli dihina, tak ragu dicerca. Jika hendak
marah ya luapkan saja, jika ingin berkata yaa ungkapkan saja. Aku malah reda
karena ditolak cintanya, meski bersikukuh memuja tapi tetap saja tak berani
meraba siapa yang dicinta.
Ahhh...
Lelaki itu memang setengah waras, tapi
lihatlah ada gambaran kedamaian diparasnya. Ketulusan senyum yang memiliki
derajat mutu dan keikhlasan yang diatas rata-rata bahkan pejabat saja kalah tak
layak jadi pembandingnya. Aku juga ingin seperti itu, bebas tanpa batas. Ikhlas
tanpa pernah berharap cinta ini juga akan dia balas. Tapi mana bisa, mencintai
tanpa memiliki hanya ada dinegeri dongeng. Sekecil apapun cinta pasti meminta
balas, minimal sebuah pengakuan dari yang dicinta.
Lama-lama aku jadi terlewat waras. Ikuti saja
alurnya, ikuti saja takdirnya maka dengan sendirinya tanpa sekat antara
rasional dan irasional. Biarkan aku tak tahu beda keduanya, jadi sedikit semaunya.
0 comments:
Post a Comment