Dia
pendarkan gerimis menjadi tiga warna dimataku,
Merah
untuk menahan kebencianku
Kuning
untuk membunuh rinduku
Dan
hijau untuk melenyapkan harapanku.
Pontianak, 14 Februari 2016
Menjumpai, Gadis masa kecilku
Assalamuallaikum, Ri
Panas
...
Seperti biasa, Pontianak memang selalu bisa
membuat orang bergidik ngeri karena suhunya. Bahkan untuk sore hari yang basah
setelah terguyur hujan layaknya hari ini. Mungkin berbeda dengan Semarang. Tapi
dibawah sinar mataharinya yang terik inilah kita pernah tumbuh bersama. Tertawa
seperti selayaknya dua orang bocah.
Ri, bagaimana kabarmu? Setelah sekian lama
Dev masih membawa romansa kekonyolan kita sewaktu dulu. Ahhh... Tidak, semuanya
terbawa bersama rasa yang tak dapat dimengerti. Bersama kesepian. Ketika Ri
tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar.
Saat Dev salah langkah, berusaha menyentuh
hati Ri lewat kata (sahabat).
Seminggu lalu, sebuah surat undangan
mendarat didepan pintu rumah Dev yang diantarkan oleh seorang kurir. Sebuah petir
di siang bolong. Undangan itu adalah undangan pernikahan Ri dengan seorang
lelaki.
Sakit...
Dev terluka.
Berita itu bagai sebuah ramalan yang
menjadi kenyataan. Mengetahui, bahwa hari itu akan tiba memang menyakitkan.
Namun. Menghadapi bahwa ini adalah saatnya? Ternyata lebih perih dari apa yang
pernah di bayangkan. Dev sadar, bahwa air yang keluar seperti rintik hujan sore
ini adalah bukti kekalahanku. Setelah bertarung dengan semua luka yang membuat
dunia menjadi gelap.
Ri... pernahakah merasa diburu waktu?
Merasa waktu begitu cepat berlalu tanpa pernah bisa diperlambat, apalagi buat
dihentikan, semakin menghimpit juga menikam?
Dev pernah.
Sekarang tepatnya. Sembilan tahun kini
hanya menyisakan beberapa hari saja. Sembilan tahun begitu cepat berlalu, tanpa
sebuah hasil.
Dev sadar betul. Seorang makmun tak akan
mungkin memilih imam yang tergopoh dibelakangnya. Tersiuk-siuk mengimbangi.
Sudah selaknya Ri akan memilih seorang imam yang berada didepannya. Memberikan
petunjuk arah, bimbingan, dan menuntun Ri dalam mengarungi hidup. Bukan?
Lelaki itu diyakini adalah imam terbaik
untuk Ri. Meski mata ini mulai mengembun, tapi Dev sematkan doa untuk yang
tercinta. Mendapati Ri dalam bahagia, meski bukan bersama Dev.
Ahhh...
Pendar keyakinan itu kini padam, luka itu
telah mentahtakan diri. Sekuat Dev bertahan, sekuat itu juga Dev menghantam.
Dev kalah, dipaksa kalah tentunya. Tak berarti menguap bagai embun. Bejana itu
memantulkan apa yang tertaklukkan, oleh kenangan. Dev kembali kalah, luka itu
lebih dahsyat rupanya. Hari-hari yang melelahkan, nafas yang kian tercekat, air
mata yang bergulir, semuanya sia-sia. Dev kalah, dipaksa kalah oleh kenangan.
Sudahlah.
Beberapa hari lagi, waktu semakin cepat
berlalu. Setelah sebelumnya Dev bergeliat. Dev akan ke Semarang. Dev ingin
menemui Ri.
Dev harap tak akan menemukan Ri dalam
keadaan merasa bersalah seperti sembilan tahun lalu. Namun jika rasa itu masih
ada. Dev harap bisa merebut semua kenangan itu dan Dev simpan dalam saku kemeja....
Ri.... dalam surat ini Dev berikan burung
kertas terakhir. Burung kertas ke 1000 untuk melengkapi harapan Dev atas Ri
dimasa mendatang.
Sekarang mentari telah tenggelam, dan
sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang. Dev harus bersiap untuk menyambut
malam ini.
Ria.... tunggu Dev di Semarang....!
Wasalamuallaikum,
Wr.Wb
Yang Selalu
Menyayangi
Devdan
0 comments:
Post a Comment